Diantara penyebab terbesar rusaknya pemahaman kaum muslimin terhadap agamanya di negeri ini adalah beredarnya hadits-hadits lemah bahkan palsu yang begitu banyak.
Hal ini tidak saja menimpa kaum awam, namun juga para tokoh agama.
Mereka dengan mudah menyebarkan hadits tanpa merujuk kepada perkataan ulama ahli hadits kemudian diterima begitu saja oleh masyarakat karena ini adalah perkataan orang yang mereka anggap berilmu dalam agama.
Salah satu contoh hadits yang begitu masyhur adalah kisah tentang Tsa’labah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Al-Maawardi dan Ibnu Sakan dan Ibnu Syaahin dan lain-lain sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir di Tafsirnya(2/234 didalam menafsirkan ayat 75 dan 76 surat At-Taubah) dan Al-Hafidz Ibnu hajar al-Asqolani di kitabnya Al-Ishobah fii Tamyiz Ash-Shohabah (juz 1 hal 198) dan Ibnu Abdil Bar di Al-Isti’aab (juz 1 hal 200-201) dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid, dari Qosim bin Abdurrahman, dari abu Umamah (ia berkata: ” Bahwa Tsa’labah bin Hatib pernah berkata,
” Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar Ia memberikan rizki kepadaku berupa harta (yang banyak).” Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ” Sedikit harta yang engkau tunaikan (kewajiban) syukurnya lebih baik dari banyak (harta) yang engkau tidak sanggup menunaikan (kewajiban syukurnya).”
Kemudian ia menyebutkan hadits yang panjang tentang do’a Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsa’labah agar memperoleh harta yang banyak. Yang pada akhirnya Tsa’labah tidak mau mengeluarkan zakat. Kemudian turunlah firman Allah dalam surat At-taubah ayat 76. Dan di dalam hadits itu diterangkan bahwa nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam sampai meninggal tidak mau menerima zakat Tsa’labah. Demikian juga Abu bakar dan Umar dan ia mati pada jaman pemerintahan Utsman.
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al- Ishaabah fii Tamyiz Ash Shahabah(juz 1 hal 198) setelah meriwayatkan hadits di atas, ” Jika sah hadits di atas, dan saya mengira hadits di atas tidak sah.”
Sanad hadits ini sangat dla’if, di dalamnya terdapat dua illat (penyakit):
1. Mu’aan bin Rifa’ah As Salaamiy, seorang rawi yang lemah/dla’if didalam periwayatan hadits. Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya, ” Layyinul Hadits katsirul irsaal (orang yang lemah haditsnya dan sering memursalkan hadits).”
2. Ali bin Yazid bin Abi Ziyad Al Alhaaniy Abu Abdul Malik Ad Dimasyqiy. Berkata Al Hafidz di Taqrib-nya: Dla’if. Berkata Bukhari: Munkarul hadits. Berkata An Nasa’i: Laisa bi tsiqatin (bukan otrang yang tsiqah). Berkata Daruquthni:Matruk. Dan lain-lain. (Mizaanul I’tidal juz 3 hal.161).
Ditinjau dari jurusan matannya (isinya) hadits inipun batil dari beberapa jurusan:
Pertama: Tsa’labah bin Hatib Al Anshaariy seorang sahabat yang ikut dalam perang Badar. Sedangkan orang yang ikut perang Badar telah ditegaskan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak akan masuk neraka sebagaimana diterangkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al Ishaabah Fii Tamyiz Ash Shahabah juz 1 hal 198 dengan menurunkan sebuah hadits shahih.
Kedua: Tidak dijumpai dari seorangpun sahabat yang tamak terhadap dunia, kikir dan tidak mau mengeluarkan zakat sebagaimana riwayat diatas apalagi dari sahabat yang pernah ikut perang Badar.
Ketiga: Hadits dla’if di atas jelas-jelas telah menyalahi sirah (perjalanan) para sahabat yang mulia yang telah mendapatkan keridlaan Rabbul ‘Alamin.
Keempat: Sebaliknya, mereka berlomba-lomba menginfakkan harta-harta mereka fii sabilillah.
Kelima: Kebatilan dan kejanggalan hadits di atas akan bertambah jelas apabila kita melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mau menerima taubatnya. Padahal Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat sebagaimana firman-Nya di banyak ayat di dalam Al Qur’an. Demikian juga sabda-sabda Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam yang suci yang menjelaskan bahwa Allah Maha Pengampun dan Penerima Taubat hamba-hamba-Nya.
Sumber: Kitab ” Hadits-Hadits Dla’if dan Maudlu’” Ust. Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat, Jilid 1 hal. 163-165.
No comments:
Post a Comment