Pengetahuan,
menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala, dalam kitabnya Syarhu Ushul Ats Tsalatsah, memiliki enam tingkatan.
Pertama:
Al-Ilmu, yaitu pengetahuan secara pasti terhadap sesuatu sesuai dengan hakekatnya.
Kedua:
Al-Jahlul Basith, yaitu tidak diketahuinya sesuatu secara keseluruhan.
Ketiga:
Al-Jahlul Murakkab, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu perkara yang berlawanan dengan hakekat sebenarnya dari sesuatu itu.
Keempat:
Al-Waham, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan (adanya) kemungkinan berlawanan yang lebih kuat.
Kelima:
Asy-Syak, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan (adanya kemungkinan (lain) yang sama (kuatnya)
Keenam:
Adz-Dzan, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan (adanya) kemungkinan berlawanan yang lebih lemah.
Tentu saja, untuk mencapai tingkatan pertama, Al-Ilmu, seseorang membutuhkan usaha yang lebih dibanding dengan lima tingkatan di bawahnya, baik itu perkara dunia apalagi perkara agama.
Seseorang yang ingin mendalami ilmu di bidang kedokteran akan menghabiskan waktu bertahun-tahun di bangku kuliah. Belum lagi beberapa praktek lapangan dan kegiatan uji laboratorium yang harus ia lakukan di luar jam kuliah. Dari sisi materi (harta) apalagi. Ini berlaku pula bagi bidang lainnya, begitu juga dengan keilmuan yang lebih urgent, yang menyangkut keselamatan manusia setelah meninggalkan dunia kelak, yakni ilmu tentang agama (Islam). Cukuplah bagi kita membaca perjalanan para ulama dari zaman ke zaman, dari mulai Imam yang empat, Al Bukhari, Muslim sampai Ulama Muta’akhirin seperti Syaikh Abdul Azis bin Baz, Syaikh Al Albani, Syaikh Al Utsaimin, Syaikh Muqbil Rahimahumullahu Ta’ala dan yang selainnya. Mereka menyediakan hampir seluruh umurnya, harta, dan rela menghadapi kesengsaraan hidup untuk ilmu yang bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Bagi kebanyakan kaum Muslimin seperti kita, tentu tidaklah dibebani harus memiliki pengetahuan sama seperti mereka, para Ulama’. Kita hanya diwajibkan memiliki pengetahuan pada hal-hal yang pokok seperti tauhid dan lawannya, syirik, kemudian hal-hal yang berkaitan dengan ibadah wajib keseharian kita seperti sholat, puasa serta hal-hal yang berkaitan dengan profesi kita secara umum.
Selebihnya, fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun, bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.
Selebihnya, fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun, bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.
Permasalahannya,
di zaman sedikitnya ahli ilmu seperti sekarang ini,
di saat manusia semakin sibuk dengan urusan dunianya,
dan lalai dalam urusan agamanya,
mereka menyerahkan urusan agama bukan kepada ahlinya.
Walhasil yang mereka dapat bukan ilmu namun kejahilan,
bahkan sampai pada tingkatan Jahil Murakkab.
Kasus Mbah priok salah satu contohnya. Betapa kejahilan besar (terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi), pengagungan terhadap kuburan yang bisa membawa kepada kesyirikan dibela sedemikian rupa atas nama agama. Beberapa nyawa melayang, mobil terbakar, infrastruktur rusak disebabkan pengagungan kubur yang berlebihan yang dalam Islam sangat dilarang.
Maka bagi kita, untuk aman dari kejahilan-kejahilan khususnya dalam masalah agama, sebagaimana perkataan Imam Bukhari Rahimahullahu Ta’ala di kitab shahih-nya bab Ilmu Qoblal Qoul wal ‘Amal setelah membawakan surat Muhammad ayat 19, beliau berkata, “Maka mulailah dengan ilmu sebelum berkata dan beramal”, sepatutnyalah kita mulai membekali diri dan keluarga dengan ilmu yang diambil dari orang yang benar-benar berilmu, selebihnya kita diam (dari berkata dan beramal) sebelum berilmu.
No comments:
Post a Comment