Saturday, 18 February 2012

DURROH AL-HASYIMIYYAH RADHIYALLAHU'ANHA




Mutiara ini adalah mutiara yang ajaib, bahkan mungkin orang akan menjadi heran bila mengetahui dari mana keluarnya mutiara ini. Ia terlahir dari kegelapan, dari orang tua yang mati hati dan perasaan.


Abu Lahab itulah ayahnya, paman Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi sangat membenci beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dakwahnya. Adapun ibunya adalah Ummu Jamil, sang pembawa kayu bakar, yang selalu bahu-membahu dengan suaminya untuk menyakiti Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan selalu mempunyai ide-ide gila untuk menghalangi dakwah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Bila Alloh menginginkan kebaikan untuk seseorang, maka Dia akan menunjukkan kebaikan kepadanya dan menjauhkannya dari keburukan. Itulah yang terjadi pada Durroh binti Abi Lahab. Dan berlindungnya ia di bawah naungan Islam adalah suatu yang menakjubkan dan sebuah keistimewaan.

Bagaimana mungkin bukan suatu keistimewaan, Abu Lahab, ayahnya yang selalu menghalangi dakwah Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang membuntuti ke mana saja beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melangkah. Bila beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti untuk berbicara dengan satu orang atau sekelompok orang, maka ia akan menghasut orang itu setelah beliau pergi dengan mengatakan, “Janganlah kalian tertipu dengan perkataannya dan terhasut dengan kedustaannya.” Sehingga, orang pun akan ragu kepada perkataan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena beranggapan, “Kalau pamannya saja berpendapat seperti itu, maka untuk apa kita mempercayai perkataannya.” Hal ini sangat menyakiti Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menambah kesusahan serta kegundahannya.

Tidak jauh berbeda dengan Ummu Jamil, ibunya. Hatinya penuh dengan kedengkian dan kebusukan. Kejahatan wanita ini terkadang sudah melampaui batasnya, sampai-sampai ia meletakkan ranjau dan duri di jalan di mana Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lewat. Namun, Alloh tidak akan membiarkan Rosul-Nya celaka. Dia melindungi Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga duri dan ranjau itu tidak menyakiti beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam suasana seperti itulah Durroh menjalani kehidupannya, hatinya meronta dan membantah perbuatan kedua orang tuanya. Akan tetapi apa daya, ia hanya seorang wanita yang lemah dan tak mampu berbuat sesuatu untuk membantu menjauhkan atau mengurangi kezholiman yang dilakukan kedua orang tuanya terhadap Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Di dalam hatinya ingin sekali ia mengenal agama yang dibawa oleh Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hal itu sangat mustahil karena pengawasan yang ketat dan ancaman dari kedua orang tuanya terhadapnya. Apalagi sang ibunya yang selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, bahkan bila mungkin ia akan menghitung setiap detak jantung dan tarikan napasnya.

Pernah terpikir olehnya untuk meminta tolong kepada kepada kedua saudaranya, Utbah dan Utaibah, karena mereka adalah suami dua putri Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Ruqoyyah dan Ummu Kultsum. Akan tetapi niat itu diurungkannya, karena sebelum ia menyampaikan niatnya, ayahnya telah membuat kejahatan yang baru dengan menyuruh kedua saudaranya untuk menceraikan kedua putri Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, hanya untuk menyakiti perasaan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka pun menceraikan istri-istri mereka. Namun Utaibah tidak cukup hanya menceraikan Ummu Kultsum, ia bahkan menarik baju Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan meludahi muka beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rosululloh berdo’a kepada Alloh semoga ia dimakan oleh binatang buas, maka Alloh mengabulkan do’a Rosul-Nya.

Maka tertutup harapan bagi Durroh untuk mengenal Islam. Setelah menikah dengan al-Harits bin Naufal bin al-Harits bin Abdul Mutholib keadaan pun tak jauh berbeda. Suaminya juga seorang musyrik dan juga memusuhi Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tak ada pilihan baginya kecuali bersabar. Yang ada hanya pengharapan, semoga ia masih diberi umur panjang untuk bertemu dengan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika perang Badar, al-Harits yang berperang di barisan kaum musyrikin terbunuh oleh kaum muslimin. Darinya Durroh dikaruniai tiga orang putra, Uqbah, Walid dan Abu Muslim.

Alloh Subhaanahu wa ta’aala yang maha pedih balasan-Nya memperlihatkan balasan-Nya di dunia terhadap orang-orang yang membangkang dan menyakiti Rosul-Nya. Sebagaimana Utaibah yang mati dimangsa binatang buas, maka Alloh menyiksa Abu Lahab dengan penyakit yang ganas sebelum mati. Penyakit yang membuatnya lumpuh total dan dari tubuhnya keluar bau yang sangat busuk. Tak seorang pun mau mendekatinya, baik anak atau pun teman. Dan ketika ia meninggal, tak ada yang mau mengusung mayatnya ke kuburan karena bau busuk yang bersangatan. Dan diceritakan bahwa ia didorong dengan kayu ke dalam kuburnya kemudian ditimbun dengan tanah dan disiram dengan air. Dan tak lama setelah itu, istrinya Ummu Jamil pun menyusulnya ke alam baka yang mana adzab yang pedih telah menantinya di sana. Na’udzubillahi min dzalik….

Adapun Durroh, setelah itu ia masuk Islam, yang membersihkan dirinya dari gelimang kemusyrikan dan kejahiliyahan menuju cahaya iman yang terang benderang. Kemudian ia memutuskan untuk menyusul Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.

Setelah sampai di Madinah dan bergabung dalam bahtera islam, Durroh dilamar oleh sahabat Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Dihyah al-Kalby, dan terjadilah pernikahan itu. Dihyah adalah seorang yang mulia dan ia adalah seorang laki-laki yang tampan, yang terkadang Malaikat Jibril menyerupainya bila datang menemui Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Durroh merasa sangat bahagia hidup di Madinah. Hanya saja, ada sesuatu yang terkadang mengganjal perasaannya, pandangan sinis sebagian wanita kepadanya karena ia adalah putri Abu Lahab dan Ummu Jamil. Mereka berkata kepadanya sambil mengejek, “Tak ada guna engkau hijrah, ayah dan ibumu siapa?!”
Durroh merasa sangat sedih mendengar perkataan itu. Akan tetapi akal sehatnya mendorongnya untuk mengadukan hal itu kepada Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta pendapat dan nasihat beliau. Kemudian ia menemui Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hati hancur dan kesedihan yang tak dapat disembunyikannya dari Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia menceritakan sikap wanita-wanita terhadapnya, dan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian menenangkan dan menghiburnya dan menyuruhnya duduk, sementara beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pergi melaksanakan sholat Zhuhur. Setelah melaksanakan sholat, beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar. Beliau duduk diam tanpa mengeluarkan satu kata pun, dan tahulah orang-orang bahwa ada hal yang sangat penting yang akan beliau sampaikan, kemudian beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai manusia! Kenapa ada yang tega menyakitiku dengan menyakiti kerabatku….”

Maka pulanglah Durroh ke rumah dengan hati gembira, dengan pembelaan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya, karena ia berada pada posisi yang benar. Maka orang yang benar tidaklah boleh takut untuk mengadu, tidak ada yang perlu ditakuti kecuali Alloh.

Setelah kejadian itu, Durroh memilih untuk lebih sering mengunjungi Ummul Mukminin Aisyah daripada ke tempat lain, baik ketika Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat. Karena itu adalah yang terbaik baginya, sebab Aisyah adalah wanita yang luas ilmunya, dalam pemahaman agama, kedokteran, fatwa dan juga syair. Karena itulah Durroh banyak meriwayatkan hadits darinya yang menempatkannya dalam kedudukan wanita muslimah yang ahli ibadah.

Maut menjemputnya pada tahun 20 H, pada masa khilafah Umar bin Khoththob Radhiyallaahu ‘anhu. Semoga Alloh meridhoinya, dan menempatkannya di surga yang penuh kenikmatan bersama para nabi dan syuhada serta orang-orang sholih.

[ Oleh: Ustadzah Gustini Ramadhani ]

Referensi:
Usudul Ghobah, Ibnul Atsir
Al-Ishobah fi Tamyiz Shohabah, Ibnu Hajr
Shofahat Musyriqoh min Hayat Shohabiyat, Abdul Majid Tho’mah Halaby

http://almawaddah.or.id/?p=44#more

No comments:

Post a Comment