Meja makan di ruang makan rumah kita ternyata merupakan tempat yang selalu ingin dituju. Apalagi bila telah terhidang beraneka ragam makanan, minuman serta buah-buahan di atasnya. Siapa pun di antara anggota keluarga kita tentu akan selalu berhasrat untuk segera menyantapnya.
Ada hal yang penting dalam masalah santap-menyantap makanan dan mereguk minuman. Yaitu, apapun yang kita santap memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan fisik maupun kejiwaan penyantapnya. Ia juga sangat berpengaruh terhadap baik dan tidaknya hati seseorang yang otomatis akan berpengaruh terhadap seluruh jasadnya. Santapan yang halalan thoyyiban, halal dan baik, akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya santapan yang haram tentu hanya akan membentuk jiwa yang keji yang bersifat hewani.
Tatkala seseorang tidak lagi peduli terhadap apa yang ia santap, apakah halal dan baik ataukah sebaliknya, maka setan akan ikut ambil bagian darinya dan menguasainya. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya) :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. al-Baqoroh [2]: 168)
Sebagian Pengaruh Buruk Santapan Haram
Tidak dipungkiri bahwa sebagian tabiat dan watak manusia dibentuk dari makanan yang ia konsumsi. Makanan akan diolah menjadi darah, dan darah akan membentuk daging, sedangkan daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram akan berbuah adzab.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Tidak akan masuk surga (yaitu) tubuh yang diberikan makan dari sesuatu yang haram.”
(HR. Abu Ya’la 1/29, Silsilah ash-Shohihah no. 2609)
Makanan yang haram lagi menjadi sebab berpalingnya seseorang dari ketaatan menjalankan kewajiban agamanya. Makanan yang haram lagi jelek akan menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dikisahkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang sedang safar lalu mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a. Dan telah dimaklumi bahwa kondisi safar termasuk salah satu sebab terkabulnya do’a. Namun karena makanannya dari yang haram, maka do’anya tidak dikabulkan oleh Alloh Ta’ala.
Peranan Penting Suami
Oleh karena itu, agar apa yang terhidang di atas meja makan rumah kita terpelihara dari yang haram lagi jelek, maka seorang suami harus perhatian dan selektif dalam mencari nafkah. Dalam mencari nafkah hendaknya didasari dengan kaidah yang benar. Yakinlah bahwa rezeki itu di tangan Alloh ‘Azza wa Jalla. Kemudian raihlah rezeki dengan beribadah, bertakwa, berdo’a dan tawakkal serta berbaik sangka kepada-Nya ‘Azza wa Jalla. Caranya, hendaknya rezeki itu diperoleh dengan cara yang Dia ridhoi. Ingatlah bahwa tujuan kita mencari rezeki adalah untuk beribadah kepada-Nya, sehingga jangan sampai saat menuntut rezeki justru lalai dari ibadah. Jangan tertipu oleh sistem kafir yang menghalalkan segala cara asalkan hasilnya banyak. Sistem ini hanyalah sistem hewani (QS. Muhammad : 12). Bila mendapatkan rezeki, ridholah dan qona’ahlah atas pemberian-Nya Subhaanahu wa ta’aala.
Apabila seorang suami memperhatikan kaidah-kaidah tersebut, insya Alloh ia akan bisa menghindari harta yang haram dan hanya mengambil yang halal dengan cara yang baik lagi halal. Dengan begitu ia hanya akan membawa ke rumah nafkah yang baik lagi halal semata. Namun apabila seorang suami tidak berpegang pada kaidah yang baik dalam mencari nafkah, maka ia akan terjatuh dan tertipu oleh harta haram dan akan mengenyangkan keluarganya dengan nafkah yang haram pula. Sehingga nafkah yang ia berikan hakikatnya hanya berbuah malapetaka semata. Naudzu billahi min dzalik.
Setelah ia berpegang dengan kaidah yang benar dalam mencari nafkah, ia harus mengetahui yang halal dari yang haram dan sebaliknya. Dia tahu yang halal untuk diambil dengan cara yang halal, dan mengetahui yang haram untuk ditinggalkan. Untuk mudahnya, terdapat pedoman yang harus dipahami, yang dengannya kita bisa menetapkan sesuatu itu halal atau haram.
1. Asal segala sesuatu yang ada di bumi adalah halal.
Alloh ‘Azza wa Jalla telah menyediakan di bumi ini berbagai hal yang bisa diambil manfaatnya sebagai makanan maupun minuman. Bahkan Dia ‘Azza wa Jalla memperuntukkan seluruhnya bagi manusia. Dia ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):
Dia-lah Alloh yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. al-Baqoroh [2]: 29)
Jadi, apapun yang ada di bumi, di daratannya maupun di laut dan sungainya, berupa sesuatu yang bisa diambil manfaatnya sebagai makanan maupun minuman oleh manusia, hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 21/542)
2. Sesuatu yang halal dan baik akan tetap halal dan baik selagi didapat dengan cara yang halal dan baik pula.
Kita hanya diperintah untuk menikmati yang halal lagi baik, yaitu yang dihalalkan oleh Alloh Subhaanahu wa ta’aala bagi kita dan yang kita dapatkan dengan cara syar’i. Apabila ada sesuatu yang jelas tidak halal, semisal khomer, maka tidak boleh dinikmati. Atau apabila ada sesuatu yang halal namun didapatkan dengan cara yang haram, maka juga tidak boleh dinikmati sebab ia telah berubah menjadi haram dan buruk lagi kotor. (Syarah Arba’in an-Nawawiyah, Ibnu Utsaimin hlm. 164)
Kita ambil misal seseorang yang mendapatkan harta dan selainnya dengan cara menipu atau korupsi. Maka, meskipun yang ia bawa pulang ke rumahnya ialah berupa sesuatu yang dzatnya halal, seperti uang, beras, roti dan lainnya, maka menjadi haram sebab didapatkan dengan cara yang haram. Alloh Subhaanahu wa ta’aala berfirman (yang artinya):
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. (QS. al-Baqoroh [2]: 188)
3. Sesuatu yang haram dzatnya tetap haram meski didapatkan dengan cara syar’i dan halal.
Di antara sesuatu yang ada di bumi ini ada yang Alloh ‘Azza wa Jalla haramkan dzatnya, seperti khomer. Seandainya seseorang bekerja di ladangnya sendiri, lalu ia memetik buahnya sendiri lalu menjualnya di pasar, kemudian uang hasilnya ia belikan khomer dan ia bawa pulang; maka khomer tersebut tetap haram meski dia membelinya dengan uangnya sendiri.
Alloh ‘Azza wa Jalla dan Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang Mengharamkan
Tentang haramnya sesuatu maka Alloh Subhaanahu wa ta’aala yang berhak mengharamkannya. Hal ini sebab asalnya segala sesuatu itu dihalalkan oleh Alloh, sehingga tidak menjadi haram kecuali bila Alloh ‘Azza wa Jalla sendiri yang mengharamkan. Dan perlu diketahui, karena hukum asal segala sesuatu itu halal, maka Alloh tidak memerincinya. Adapun sesuatu yang haram, maka Dia ‘Azza wa Jalla telah memerincinya. Dia ‘Azza wa Jalla berfirman:
"Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Alloh ketika menyembelihnya, padahal Alloh telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Robbmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-An’am [6]: 119)
Adapun tentang perincian sesuatu yang diharamkan maka telah disebutkan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla di dalam al-Qur’an maupun melalui lisan Nabi-Nya di dalam hadits-haditsnya. Hal ini sebab pengharaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesuatu sama dengan pengharaman Alloh Subhaanahu wa ta’aala.
Imam Syafi’i berkata,” Asal hukum makanan dan minuman adalah halal kecuali yang diharamkan oleh Alloh dalam al-Qur’an atau melalui lisan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena apa yang diharamkan oleh Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama halnya dengan yang diharamkan oleh Alloh.” (al-Umm, Imam Syafi’i, 2/213)
Yang Haram Dimakan Menurut al-Qur’an
Tentang rincian sesuatu yang haram dimakan, berarti juga haram dihidangkan di atas meja makan di rumah kita, bisa kita dapatkan di dalam surat al-Maidah ayat 3 sebagai berikut:
1. Bangkai.
Yaitu hewan yang mati bukan dengan cara syar’i, baik mati sendiri atau mati oleh manusia namun tidak dengan cara yang syar’i. Di dalam ayat disebutkan beberapa hewan mati yang tergolong bangkai, ialah al-Munkhoniqoh, yaitu hewan yang mati tercekik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Kemudian al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena pukulan benda tumpul lagi keras. Termasuk dalam kategori ini ialah hewan yang mati tersengat listrik. Lalu al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena terjatuh dari tempat yang tinggi atau terjatuh ke dalam sumur. Kemudian an-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk hewan lainnya. Semua yang tersebut di muka termasuk bangkai dan hukumnya haram.
Termasuk kategori bangkai ialah potongan tubuh binatang yang masih hidup, seperti potongan ekor sapi, potongan punuk unta, potongan telinga sapi dan sebagainya.
Seluruh bangkai hukumnya haram kecuali bangkai ikan dan belalang.1 Bahkan bangkai binatang laut seluruhnya adalah halal.2
2. Darah yang mengalir.
Para ulama sepakat atas haramnya darah yang mengalir ini, tidak boleh dimakan, diminum ataupun dimanfaatkan3, kecuali darah yang berupa hati dan limpa, maka halal.4 Atau darah yang menempel di daging setelah penyembelihan maka juga halal.5
3. Daging babi.
Pengharaman daging babi yang dimaksudkan ialah mencakup seluruh anggota tubuhnya, termasuk minyak lemaknya, darah, kulit, tulang dan sebagainya, baik babi peliharaan maupun babi liar.6
4. Sembelihan dengan selain nama Alloh (tidak dengan bismillah).
Yaitu setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Alloh, maka hukumnya haram.
5. Sembelihan yang diperuntukkan selain Alloh.
Yaitu seluruh sembelihan yang diperuntukkan selain Alloh, baik patung, batu, pohon, laut, wali, kuburan keramat atau siapapun selain Alloh maka haram dimakan.
6. Hewan yang diterkam binatang buas lainnya.
Yaitu binatang yang diterkam oleh harimau, serigala, buaya atau yang lainnya lalu dimakan sebagian tubuhnya dan mati karenanya, maka hukumnya haram meskipun darahnya mengalir dan yang tergigit ialah bagian lehernya.
Yang Haram Dimakan Menurut Hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Adapun kaidah dan sebagian rincian sesuatu yang haram di makan menurut hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ialah sebagai berikut:
1. Binatang buas bertaring.7
Yaitu binatang buas yang bertaring dan melawan dengan taringnya, maka haram dimakan.
2. Burung yang berkuku tajam.8
Yaitu seperti burung garuda, elang dan sejenisnya, maka haram dimakan.
3. Keledai jinak.9
Termasuk yang diharamkan ialah bighol, yaitu peranakan antara kuda dan keledai jinak.
4. al-Jalalah.10
Yaitu hewan, baik yang berkaki empat maupun berkaki dua, yang makanan pokoknya kotoran-kotoran, seperti kotoran manusia atau hewan dan sejenisnya. (Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqolani, 9/648). Yang diharamkan ialah daging serta susunya.
5. Hewan yang diperintahkan agama untuk dibunuh.
Yaitu antara lain kalajengking, ular, burung gagak, tikus, anjing hitam.11 Juga tokek atau cicak.12
6. Hewan yang dilarang agama membunuhnya.
Yaitu antara lain semut, tawon atau lebah, burung hud-hud, dan burung shurod.13 Juga kodok atau katak.14
Yang Halal Menjadi Haram
Bahan makanan atau minuman yang asalnya halal bisa menjadi haram apabila didapat dengan cara yang haram atau tidak sesuai dengan syari’at. Misalnya dengan cara merampas dengan paksa (ghosob), mencuri, merampok, menipu, berjudi, berzina, meramal, profesi dukun, hasil usaha riba dan yang lainnya. Atau seorang pegawai, baik negeri maupun swasta yang korupsi, menipu atasan, berkhianat dan semisalnya.
Uang hasil jual beli yang asalnya halal juga bisa menjadi haram apabila menjual sesuatu yang haram, barang curian, dan sebagainya. Atau karena cara jual belinya saling merugikan, memaksa, ada unsur penipuan, baik menipu pembeli maupun menipu pemilik barang, ada unsur ribanya, seperti menjual emas dengan emas tapi tidak sama ukuran dan timbangannya, atau menjual alat-alat musik, kaset-kaset musik dan nyanyian, menjual gambar-gambar makhluk hidup bernyawa, menjual barang untuk dibuat kemaksiatan, dan semisalnya.
Seluruh nafkah suami dari usaha dengan cara yang tidak sesuai syari’at seperti di atas dan hasil jual beli yang juga tidak sesuai dengan syari’at seperti di atas tidak boleh dinikmati, baik dimakan maupun diminum, juga dihidangkan, sebab hukumnya haram. Wallohu a’lam.
[ Oleh: Ust. Abu Ammar al-Ghoyami ]
http://almawaddah.or.id/?p=34
No comments:
Post a Comment