Allah ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. as-Syu’ara: 88-89).
Abu Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah).
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366] as-Syamilah).
Imam al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan:
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ شَابُورٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ».
Mu’ammal bin al-Fadhl menuturkan kepada kami. Dia berkata: Muhammad bin Syu’aib bin syabur menuturkan kepada kami dari Yahya bin al-Harits dari al-Qasim dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “…Dan hal itu pun tidak cukup baginya sampai dia terbebas dari belenggu ketundukan berhukum kepada siapa saja selain Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu dia hanya mengikatkan hatinya dengan kuat untuk mengikuti dan meneladani beliau semata. Bukan kepada siapa-siapa. Baik dalam hal ucapan maupun perbuatan…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, sekali-kali mereka belumlah beriman sampai mereka menjadikanmu (hai Muhammad) sebagai hakim di dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa berat di dalam hati mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa’: 65)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidaklah layak bagi seorang yang beriman, lelaki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara ternyata masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barang siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)
Allah ta’ala berfirman mengenai Nabi-Nya,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dengan memperturutkan hawa nafsunya, akan tetapi apa yang disampaikannya hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4)
Oleh karena itu, Allah ta’ala menyatakan,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’ : 80)
Allah ta’ala juga memerintahkan,
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa saja yang dibawa oleh rasul maka ambillah (laksanakan) dan apa saja yang dilarangnya kepada kalian maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr: 7)
Oleh sebab itulah, kehidupan yang sejati hanya akan diperoleh dengan memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Tunduk beribadah dengan ikhlas kepada Allah, dan mengikatkan diri dengan syari’at dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (QS. al-Anfal: 24)
Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah)
Oleh karena itulah Allah menyebut orang-orang kafir sebagai orang yang mati, walaupun jasad mereka masih bergentayangan di atas muka bumi. Allah ta’ala berfirman,
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
“Apakah orang yang telah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk berjalan di tengah-tengah manusia sama dengan orang sepertinya (mati) yang tenggelam di dalam berbagai kegelapan dan tidak bisa keluar darinya.” (QS. al-An’am: 122).
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Dahulu orang itu sesat kemudian Kami berikan petunjuk kepadanya. Dahulu dia mati akibat kekafiran -yang menyelimuti hatinya- kemudian Kami hidupkan kembali dengan iman.” (Ma’alim at-Tanzil [3/184] as-Syamilah)
Penafsiran ini didukung oleh beberapa atsar dari ulama salaf yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah di dalam tafsirnya. adh-Dhahhak rahimahullah mengatakan bahwa orang yang mati -hatinya- kemudian Allah hidupkan dengan iman adalah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu, sedangkan orang yang tetap tenggelam di dalam kegelapan itu adalah Abu Jahal. Adapun menurut Ikrimah, yang dimaksud orang yang mati -hatinya- kemudian Allah hidupkan dengan iman adalah ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhuma, sedangkan orang yang tetap tenggelam di dalam kegelapan itu adalah Abu Jahal. Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma juga mengatakan, “Dia itu adalah orang kafir yang kemudian Allah tunjukkan kepada Islam.” (Jami’ al-Bayan [12/89-91] as-Syamilah)
Sehingga yang menjadi syi’ar dan slogan orang-orang yang beriman adalah ‘sami’na wa atha’na’ (kami dengar dan kami taat). Sebab mereka menyadari bahwa dengan sikap seperti itulah hidup mereka menjadi benar-benar berarti. Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban mereka hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nur: 51)
Inilah sikap seorang mukmin. Dia akan senantiasa mendengar dan menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Baik hal itu sesuai dengan hawa nafsunya atau tidak. Orang-orang seperti itu sajalah yang akan bisa mendapatkan keberuntungan. Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak akan beruntung kecuali orang yang menjadikan Allah dan rasul-Nya sebagai hakim/pemutus perkara -di antara mereka- dan tidak akan beruntung selain orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/781] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Sebaliknya, seorang yang hatinya telah mati. Maka apabila dia mencintai, cintanya karena kepentingan hawa nafsunya. Memberi dan tidak pun juga karena hawa nafsunya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jenis hati yang kedua adalah hati yang mati, yaitu yang di dalamnya tidak terdapat kehidupan. Ia tidak mengenal Rabbnya, tidak menyembah-Nya dengan perintah-Nya, tidak mengikuti kecintaan dan keridhaan-Nya. Akan tetapi dia bersikap untuk menuruti hawa nafsunya dan semata-mata untuk meraih ambisi pribadi. Walaupun seandainya untuk mendapatkannya dia harus membuat Allah murka dan marah, maka dia tidak lagi peduli asalkan dia mendapatkan apa yang disenangi oleh nafsu dan mendapatkan ambisi pribadinya. Dia tidak peduli apakah Rabbnya ridha ataukah murka. Oleh sebab itu pada hakikatnya dia adalah penyembah selain Allah, dengan rasa cinta, takut, harapan, ridha dan murka, serta pengagungan dan perendahan dirinya. Apabila dia mencintai maka dia mencintai karena dorongan hawa nafsunya. Apabila dia membenci maka dia membenci juga karena hawa nafsunya. Apabila dia memberikan sesuatu maka dia pun memberikannya karena hawa nafsu. Begitu pula apabila mencegah/tidak memberi, maka dia pun melakukannya karena hawa nafsu. Baginya hawa nafsu lebih diutamakan dan lebih dicintainya daripada keridhaan Tuhannya. Hawa nafsu adalah imamnya. Syahwat adalah komandannya. Kebodohan adalah sopirnya. Kelalaian adalah kendaraannya. Pikirannya hanya berisi ambisi-ambisi untuk memenuhi keinginan duniawi. Pikirannya telah terjangkit penyakit hawa nafsu dan dimabuk dengan dunia…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
No comments:
Post a Comment