Friday, 10 February 2012

AHLUS-SUNNAH TIDAK MENYUKAI DEBAT KUSIR




Di antara kebiasaan yang dilakukan generasi salafus shalih adalah menjauhi debat yang tidak bermanfaat serta menjauhi perselisihan-perselisihan atau cekcok dalam urusan agama. Mereka melarang keras perbuatan tersebut dan mengingkari orang-orang yang melakukannya. Dalam kitab Fadlu Ilmi Salaf, Ibnu Rajab berkata bahwa di antara hal-hal yang dibenci oleh generasi salaf adalah debat kusir dan cekcok dalam permasalahan-permasalahan halal dan haram. Dan hal itu bukanlah jalan yang ditempuh oleh para imam kaum muslimin, akan tetapi baru muncul pada generasi setelah mereka.

Imam Malik menegaskan hal yang penting ini, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Satibi dalam kitab al-’Itisom bahwa debat yang tidak berguna itu tidak termasuk dalam bagian agama sama sekali (bid’ah). Imam al-Lalikai menukil perkataan Imam Malik dalam kitab Syarhul Usul I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah berkata,
“Aku membenci debat dalam permasalahan-permasalahan agama. Dan penduduk negri kita (Madinah) senantiasa membenci dan melarangnya, seperti berdebat seputar pemikiran Jahmiah dan Qadariah dan yang semacamnya. Dan aku membenci perbincangan, kecuali perbincangan yang akan mendatangkan manfaat berupa amal.”
Ibnu Abdil Bar menyatakan dalam kitab beliau Jami al-Bayan al-Ilmi, menukil perkataaan Imam Ahmad bahwa beliau berkata,
“Berpeganglah kalian dengan atsar sahabat dan al-hadits, dan sibukkanlah diri kalian dengan hal-hal yang bermanfaat. Jauhilah berbantah-bantahan, karena orang yang suka berdebat tak akan pernah beruntung.”
Beliau juga berkata,
“Tak akan pernah bahagia orang yang suka berdebat. Dan tidaklah engkau menjumpai seseorang yang suka berdebat kecuali di hatinya tersimpan sebuah penyakit.”
Imam al-Ajuri di dalam kitab beliau asy-Syari’ah, menyinggung pokok yang penting ini. Dia menukil perkataan Imam al-Auzai yang berkata,
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada jejak generasi salaf walaupun kalian ditinggalkan manusia. Dan janganlah kalian tergiur oleh pendapat-pendapat orang belakangan walaupun dipoles dengan ungkapan-ungkapan indah.”
Inilah jalan para generasi Salafus shaleh. Mereka melarang manusia dari debat sia-sia tentang agama. Dan keengganan mereka untuk berdebat itu bukanlah karena mereka itu bodoh atau karena takut kepada manusia atau karena tidak mampu sebagaimana diduga oleh sebagian orang bodoh. Tetapi mereka mengekang dari hal itu semata-mata takut kepada Allah.
Sebagaimana dinukil Imam al-Ajuri dalam kitab beliau asy-Syari’ah dari Ibnu Sirrin, beliau berkata kepada seseorang yang mengajak beliau untuk berdebat,
“Aku mengerti apa yang engkau inginkan; dan sebenarnya aku lebih pandai bersilat lidah daripada kamu, tetapi aku tidak berselera untuk berdebat denganmu.”
Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab beliau Fadlu Ilmi Salaf menegaskan ketentuan ini dan membantah orang yang menuduh bahwa generasi salaf (karena tidak banyak bicara) sebagai orang yang lemah dan bodoh. Beliau berkata,
“Sungguh telah terfitnah orang banyak dari generasi kiwari ini dengan penyakit suka bedebat atau berbantah-bantahan. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak bicara dan berdebat dalam masalah agama adalah lebih alim dari orang yang tidak banyak bicara dan berdebat. Hal ini sangat bodoh karena komentar-komentar generasi tabi’in lebih banyak dari pada komentar para sahabat, padahal para sahabat lebih alim dari tabi’in; dan begitu pula komentar-komentar generasi tabiut tabi’in lebih banyak dari generasi tabi’in, padahal generasi tabi’in lebih alim dari generasi tabiut tabi’in.”
Maka banyaknya ilmu itu tidak bisa diukur dengan banyaknya komentar dan riwayat, karena ilmu itu adalah merupakan cahaya yang terpendam di hati. Dengan ilmu itu seseorang dapat memahami kebenaran dan dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil dan kemudian dengan ilmunya dia bisa mengungkapkan secara ringkas dan mudah difahami. Rasulullah sendiri adalah orang yang diberikan oleh Allah, jawaami’ul kalim (ucapan-ucapan ringkas dan padat) dan berkata dengan perkataan yang pendek. Oleh karenanya terdapat larangan dari Rasulullah agar jangan banyak bicara dan menyibukkan diri dengan qila wa qola (yakni menyebarkan berita yang belum pasti dan tidak berguna).
Maka menjadi sebuah keharusan untuk meyakini bahwa tidak mesti orang yang lebih banyak ulasannya terhadap suatu ilmu lebih alim dari orang yang tidak banyak berkomentar. Dan sungguh sekarang ini kita telah tertimpa musibah berupa banyaknya orang-orang bodoh yang yakin bahwa sebagian orang yang banyak mengeluarkan analisa dan pendapat lebih alim daripada ulama-ulama salaf. Ini adalah merupakan pelecehan berat terhadap salafus shalih, berburuk sangka kepada mereka dan memberikan predikat buruk kepada mereka berupa kejahilan dan minimnya ilmu.
Faktor Diamnya Para Salaf Dari Perdebatan Atau Berbantah-Bantahan
Para salafus shalih senantiasa menjauhi debat atau berbantah-bantahan tentang masalah agama, karena banyak debat itu akan mendatangkan musibah berupa kegoncangan hati, sehingga hati tersebut tidak bisa kokoh untuk berpijak di atas suatu prinsip. Sebagaimana dinukil oleh Imam al-Ajuri dari Umar bin Abdul Aziz yang berkata bahwa barang siapa suka berdebat maka dia akan sering berubah prinsip.
Selain itu banyak berdebat akan membawa seseorang terjerumus ke dalam kesesatan dan kerancuan antara yang haq dan yang bathil. Sehingga Imam Abu Qilabah berkata sebagaimana dinukil oleh al-Ajuri di dalam kitab As-Syari’ah,
“Janganlah kalian berbincang-bincang tentang masalah agama dengan ahli bid’ah. Dan jangan pula melakukan perdebatan dengan mereka, karena tidak akan menjamin kalian bisa selamat dari keburukan mereka. Juga karena mereka akan berusaha membenamkan kalian kedalaam lumpur kesesatan dan membuat kalian bingung serta ragu terhadap sebagian urusan agama kalian sebagaimana halnya mereka.”
Dan begitu pula perdebatan akan mengakibatkan timbulnya rasa kebencian dan permusuhan di hati. Imam Malik menuturkan dalam kitab al-Ibanah bahwa berbantah-bantahan tentang sebuah ilmu akan menyebabkan hati menjadi keras dan memicu timbulnya kedengkian.
Perincian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Tentang Manhaj Ini
Syaikhul Islam Ibnu Taimi menjelaskan bahwa salafus shalih adalah orang-orang yang tidak menyukai debat dan perselisihan dalam agama, namun demikian terkadang mereka mau berdebat dan adu hujjah, jika memang dibutuhkan dan terpaksa atau dalam rangka mengenyahkan kerusakan dan kebathilan.
Beliau berkata lagi di dalam kitab Darut Ta’arud an Naqli wal ‘Aqli, bahwa sesuatu yang tercela menurut kacamata syar’i adalah sesuatu yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti debat dalam rangka membenarkan yang bathil dan debat kusir (tanpa ilmu) dan mendiskusikan sebuah kebenaran yang jelas dan gamblang (seperti wajibnya shalat dan lain-lain).
Adapun debat yang sesuai syari’at (dalam rangka mendakwahi orang-orang jahil, atau dalam rangka sama-sama mencari kebenaran) adalah yang diperintahkan Allah seperti dalam firman-Nya,
“Mereka berkata, Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami.” (QS. Hud:32)
Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An’am:83)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim mengatakan, Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata, Saya dapat menghidupkan dan mematikan. Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah:258)
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl:125)
…dan ayat-ayat lain yang semisalnya. Bahkan justru merupakan sesuatu yang wajib atau mustahab (yang dianjurkan). Jidal (adu hujjah) seperti ini tidaklah dilarang dan dicela oleh syari’at.
Beliau juga berkata,
“Jadi,yang dimaksud larangan para salaf dalam berdebat adalah yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat untuk melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain) atau perdebatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti; berdebat dengan orang yang tidak menginginkan kebenaran, serta berdebat untuk saling unjuk kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri) dan kesombongan.
Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.
Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang tercela; terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.”
[Diringkas dan diterjemahkan dari tulisan Dr.‘Adil al-Muthayyarot dalam Majalatil Furqaan ‘adad 227]
Sumber:
http://www.mail-archive.com/fupm-ejip@usahamulia.net/msg00697.html

No comments:

Post a Comment