Tuesday, 6 March 2012

TUNTUNAN RASULULLAH KEPADA UMMAT NYA DALAM MENYIKAPI PENGUASA






Rasulullah mengabarkan kelak, akan ada pemimpin yang:
(1) Tidak berhukum dengan hukum Allah dan RasulNya,
(2) Berhati SYAITHAN berjasadkan manusia,
(3) Berbuat korupsi (mengambil harta rakyatnya tanpa hak) dan otoriter (kejam, yakni dengan menyiksa atau bahkan membunuh rakyatnya)


Tapi apa nasehat Rasulullah kepada umatnya dalam menyikapi pemimpin tersebut?"DENGARLAH dan TAATILAH penguasa tersebut (dalam hal kebaikan)"


Rasulullah bersabda:

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ،

“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku….”

وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ


Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.”
Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!

“Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut (dalam hal kebaikan) walaupun punggungmu dicambuk(baca: menyiksa rakyatnya) dan hartamu dirampas olehnya(baca: berbuat KORUPSI), maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).”
(HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847; dinukil dari sini)


Tidak ada ketaatan dalam perintah maksiat

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

‎عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ


“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”
[HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864; dinukil darisini]

Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata:“Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya.”Al-Muthahhar mengomentari hadits ini :‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat.Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut”[Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah; dinukil darisini].
Tidak membenarkan kedustaan dan tidak menolong kezhaliman mereka


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ka’b bin’ Ujroh,

أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ

“Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh”
(Ka’b bin ‘Ujroh Radliyallahu’anhu) bertanya, “apa itu kepemerintahan orang bodoh?”
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:

أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي

“Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku”

فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي

barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kedholiman mereka maka dia bukanlah golonganku dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku.

وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي

barang siapa yang tidak membenarkan* mereka atas kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku.
(HR. Ahmad, dishahiihkan oleh Syaikh Muqbil)

* Yakni, Tidak membenarkan dengan hati, tidak pula membenarkan dengan lisan. Tidak membenarkan dengan lisan adalah dengan menasehatinya. Adapun tata cara menasehati, insya Allah akan dijelaskan.

Imam Nawawi berkata,
“Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukkan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”

Berkata Ibnu Rajab:
“Yang sangat ditakutkan atas orang (ulamaa’) yang mendatangi para penguasa yang zhalim adalah membenarkan kedustaan mereka, menolong kezhaliman mereka meskipun dengan diam, serta membiarkan mereka berbuat zhalim 
(tanpa menasehatinya dan membimbingnya ke jalan yang lurus, ed)”
(dinukil darisini)

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

‎مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim no. 49)


Adapun berkaitain dengan hal ini, penguasa tidaklah diubah dengan tangan (yaitu dengan memberontak), kecuali penguasa tersebut menampakkan kekafiran yang nyata dan pemberontakan tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar (yang hal ini akan dijelaskan, insyaa Allah). Maka jika kondisinya demikian, maka yang tersisa hanyalah pengingkaran dengan lisan, dan pengingkaran dengan hati.
Imam Ibnu Rajab berkata mengomentari hadits diatas:
“Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258; darisini)

Adapun pengingkaran dengan lisan, mari kita menyimak apa yang disampaikan oleh Syaikh Ibrahim ar Ruhayliy:
“…Adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.”
(dinukil darisini)

Maka hendaknya kita menyerahkan hal ini kepada ulamaa’, sehingga merekalah yang mendatangi penguasa SECARA LANGSUNG atau mengirimkan surat kepada mereka dalam rangka menasehati mereka akan kesalahan mereka. TIDAK DISYARATKAN dalam pengingkaran dengan lisan ini, bahwa nasehat tersebut HARUS DITERIMA PENGUASA.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ

“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka JANGANLAH ia MENAMPAKKANNYA secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat).


فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya”
[HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi, dinukil darisini]

Allah berfirman:

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ . فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ


“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan KATA-KATA yang LEMAH LEMBUT, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
[QS. Thaahaa: 43-44].


Padahal kita mengetahui penguasa tersebut TIDAKLAH LEBIH BEJAT dari fir’aun, dan kita mengetahui bahwa kita TIDAKLAH LEBIH BAIK dari musa dan harun ‘alayhimas salaam.

Dan hal ini dicontohkan sebaik-baiknya oleh shahabat, yaitu Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaa ia berkata : Seseorang berkata kepadanya :
“Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”.
Maka Usamah menjawab :
“Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu?!
Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya”
[HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989, dinukil darisini].

Tidak boleh memberontak, selama pemimpin masih shalat; kecuali jika terlihat kekufuran yang nyata darinya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أَئِمَّةٌ تَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ

“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian nilai baik namun juga kalian ingkari

فَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ بَرِيءَ وَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ

barangsiapa yang mengingkari berarti ia terbebas, dan barangsiapa yang membenci ia selamat, tapi barangsiapa yang rela dan mengikuti (maka ia telah bermaksiat).”
Ditanyakan kepada beliau:
“Wahai Rasulullah, Bolehkah kami memerangi mereka?”
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam menjawab:

لَا مَا صَلُّوا

“Tidak, selama mereka masih shalat.”
(HR. Muslim, at-Tirmidziy (dan ini lafazhnya), dll.)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ.

“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan mereka melaknati kalian.“
Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang (senjata)?“
Beliau mengatakan:

لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ

“Jangan, selama mereka mendirikan shalat di tengah-tengah kalian.”

وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

Jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah perbuatannya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.“
(Shahih, HR. Muslim)

Dari Ubadah bin Ash Shamit rodhiallohu ‘anhu, ia berkata:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau, diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan ) ini, beliau bersabda:

‎إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ


”kecuali jika kamu melihat kekafiran YANG NYATA yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
(HR. Bukhariy)


Ibnu ‘Allan rahimahullah wa ghafarallahu lahu (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati dan mengampuni beliau) berkata:
“Ucapan beliau ‘selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian’ adalah larangan untuk memerangi mereka selama mereka masih menegakkan shalat. Karena shalat merupakan tanda-tanda keislaman mereka. Sebab perbedaan antara kekafiran dan keislaman adalah shalat.
Yang demikian karena kekhawatiran akan timbulnya fitnah dan perpecahan di kalangan kaum muslimin, yang tentunya lebih parah kemungkarannya daripada bersabar terhadap kejelekan dan kemungkaran yang muncul dari penguasa tersebut.”
(Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin juz 1 hal. 473 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut; dinukil darisini)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Yang dimaksud dengan ‘kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas kesalahannya itu’ adalah adanya dalil tegas dari ayat atau hadits sahih yang tidak menerima ta’wil. Konsekuensinya, tidak boleh memberontak kepada mereka apabila perbuatan mereka itu masih mengandung kemungkinan ta’wil.”
(Fath al-Bari [13/10]; dinukil darisini)

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata
“(… kecuali apabila kaum muslimin telah melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki bukti kuat dari sisi Allah tentangnya), maka tidak mengapa melakukan pemberontakan kepada penguasa ini untuk menyingkirkannya dengan syarat apabila mereka mempunyai kemampuan yang memadai.
Adapun apabila mereka tidak memiliki kemampuan itu maka janganlah mereka memberontak. Atau apabila terjadi pemberontakan maka -diduga kuat- akan timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh memberontak demi memelihara kemaslahatan masyarakat luas.
Hal ini berdasarkan kaidah syari’at yang telah DISEPAKATI menyatakan bahwa;
‘tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang -menimbukkan akibat- lebih buruk dari keburukan semula, akan tetapi wajib menolak keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa menyingkirkannya atau -minimal- meringankannya.’…”
(al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal. 9-10; dinukil darisini)

Rasulullah juga bersabda kepada Abud Darda

‎و لا تنازعن ولاة الأمر ، و إن رأيت أنك أنت

…Janganlah memberontak kepada penguasa (muslim), meskipun engkau tahu bahwa engkaulah yang benar
[HR. Ibnu Maajah; dihasankan oleh syaikh al-Albaaniy dalam al-Irwa dan shahiih adabul mufarad]


Tunaikanlah hak mereka, meskipun mereka zhalim/fasiq; dan mintalah hak kita kepada Allah


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ

“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu: pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudh”
[HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845; dinukil darisini].


Dalam riwayat bukhariy, dari Ibnu Mas’ud, beliau bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا

“Kalian akan menyaksikan atsarah, dan beberapa perkara yang kalian ingkari.”

أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ

“Tunaikanlah hak mereka dan mintalah kepada Allah hakmu!”
(HR. Bukhariy)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang zhalim dan sewenang-wenang.
Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya.
Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah, dengan meninggalkan kedhalimannya)”
[Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232; dinukil darisini]

Taat kepada pemimpin (dalam hal kebaikan) = Taat kepada Rasulullah = Taat Kepada Allah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barang siapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang bermaksiat kepada pemimpin berarti dia telah bermaksiat kepadaku.

وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ

Dan sesungguhnya imam (penguasa) adalah laksana benteng, dimana orang-orang akan berperang mengikutinya dan berlindung dengannya. Maka jika dia memerintah dengan berlandaskan taqwa kepada Allah dan keadilan, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun jika dia berkata sebaliknya, maka dia akan menanggung dosa”.
(HR. Bukhåriy)

Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).”

Maka Rasulullah bersabda:

اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا

“Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).”
(Shahiih, HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah)


Pemimpin menanggung dosa-dosa mereka, jika mereka tidak menjalankan pemerintahan sebagiamana diperitahkan oleh Allah dan RasulNya kepada mereka


dari ‘Alqamah bin Al Wa`il Al Hadlrami dari ayahnya dia berkata,
“Salamah bin Yazid Al Ja’fi pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Wahai Nabi Allah, bagaimanakah pendapatmu jika para penguasa yang memimpin kami selalu menuntut hak mereka atas kami tapi mereka tidak mau memenuhi hak kami, sikap apa yang anda anjurkan kepada kami?”
Maka beliau berpaling, lalu ditanyakan lagi kepada beliau dan beliaupun tetap enggan menjawabnya hingga dua atau tiga kali pertanyaan itu diajukan kepada beliau, kemudian Al Aty’ats bin Qa`is menarik Salamah bin Zayid.

Beliau lalu bersabda:

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Dengarkan dan taatilah, sesungguhnya mereka akan mempertanggung jawabkan atas semua perbuatan mereka sebagaimana kalian juga akan mempertanggung jawabkan atas semua perbuatan kalian.”
(HR. Muslim)



Larangan mencela penguasa

Dari Anas bin Malik, bahwa ia berkata:

“Para pembesar (shahabat) melarang kami untuk menyelesihi Ulil Amri, mereka berkata: bahwa Rasulullah bersabda:

لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ، وَلاَ تَغِشُّوْهُمْ وَلاَ تُبْغَضُوْهُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاصْبِرُوْا، فَإِنَّ اْلأَمْرَ قَرِيْبٌ

“Janganlah kalian mencela pemimpin-pemimpin kalian, janganlah kalian dengki kepada mereka dan janganlah membenci mereka, (tetapi) bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya perkara ini sudah dekat.”
(HR. Ibnu Abi ‘Asyim, Hadits shahih)

Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al-Adawi. Beliau berkata:“Aku di samping Abu Bakrah, berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal (Mirdas bin Udayah, seorang Khawarij. Lihat Tahdzibul Kamal oleh Imam Al-Mizzi 7/399; darisini) berkata,“Lihatlah pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang fasik.”Lantas Abu Bakrah berkata,“Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُBarangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.’”(Hadits Hasan Gharib, Lihat Sunan At-Tirmidzi no. 2224).


Wajib bersabar dalam menghadapi pemerintahan/penguasa yang zhalim/fasiq


Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa yang tidak menyukai kebijakan penguasa, hendaklah ia bersabar, sebab siapapun yang keluar dari ketaatan kepada amir sejengkal, ia mati dalam jahiliyah.”
(HR. Bukhariy)

Dari Abu Dzar Al-Ghiffari radliyallaahu ’anhu ia berkata :
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mendatangiku ketika aku berada di masjid Madinah. Beliau menyentuh kakiku dan bersabda :
أَلا أَرَاكَ نَائِمًا فِيهِ
“Apakah kamu sedang tidur di tempat ini ?”.
Aku menjawab : “Wahai Rasulullah, mataku mengalahkanku”.
Beliau bertanya :
كَيْفَ تَصْنَعُ إِذَا أُخْرِجْتَ مِنْهُ ؟
“Bagaimana jika kamu diusir dari sini ?”.
Maka aku menjawab : “Sungguh, aku akan memilih bumi Syam yang suci lagi diberkahi”.
Beliau bertanya lagi :
فَكَيْفَ تَصْنَعُ إِذَا أُخْرِجْتَ مِنَ الشَّامِ
”Bagaimana jika kamu diusir dari Syam ?”.
Aku berkata : ”Apa yang seharusnya aku perbuat ? Apakah aku harus melawannya dengan pedangku wahai Rasulullah ?”.
Beliau berkata :
أَلا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْ ذَلِكَ وَأَقْرَبُ رَشْدًا ؟
”Maukah engkau aku tunjukkan jalan yang lebih baik daripada tindakan itu dan lebih dekat kepada petunjuk ?” – beliau mengatakannya dua kali – .
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ ، وَتَنْسَاقُ لَهُمْ كَيْفَ سَاقُوكَ
Yaitu kamu dengar dan kamu taati. Kamu akan digiring kemana saja mereka akan menggiringmu”
[HR. Ibnu Abi ’Ashim no. 1074; shahih, dinukil darisini].

Sulaiman bin ‘Ali Ar-Rab’i radhiallahu ‘anhu meriwayatkan:
“Tatkala terjadi fitnah Ibnul Asy’ats, yang memberontak kepada Al-Hajjaj bin Yusuf, maka ‘Uqbah bin Abdul Ghafir, Abul Jauza` dan Abdullah bin Ghalib dari kalangan orang-orang yang seperti mereka (yakni kaum Khawarij), mendatangi Al-Hasan –yakni Al-Bashri–.

Mereka berkata:
‘Wahai Abu Sa’id (yakni Al-Hasan)! Apa pendapatmu terhadap perbuatan memerangi orang yang melampaui batas ini (yaitu Al-Hajjaj), yang telah menumpahkan darah yang haram dan mengambil harta yang haram, meninggalkan shalat, dan berbuat ini dan itu…?’ Mereka lalu menyebutkan perbuatan-perbuatan Al-Hajjaj…
[Hisyam bin Hassan berkata: “Mereka menghitung yang dibunuh Al-Hajjaj dengan cara shabran (yaitu seseorang diikat lalu dibiarkan sampai mati, red) mencapai jumlah 120.000 orang!”
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2220) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih As-Sunan. Dinukil dari Fatawa Al-’Ulama Al-Akabir hal. 36)]

Al-Hasan Al-Bashri menjawab:
‘Aku berpendapat bahwa kalian TIDAK BOLEH MEMBERONTAK kepadanya.
Karena, bila ini adalah hukuman dari Allah, maka kalian tidak akan bisa menolak hukuman Allah dengan pedang-pedang kalian.
Dan bila ini merupakan ujian, hendaknya kalian bersabar sampai Allah menentukan hukumnya, dan Allah adalah Hakim yang terbaik.’
Mereka pun pergi dari sisi Al-Hasan dan mengatakan:
‘Apakah kita akan menaati al-’ilj [*] ini?’ Sedangkan mereka adalah orang Arab. Akhirnya mereka ikut memberontak bersama Ibnul Asy’ats, dan mereka semua terbunuh.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 7/163-164, Ad-Dulabi dalam Al-Kuna 2/121, dengan sanad yang shahih. Diringkas dari Fatawal ‘Ulama Al-Akabir, hal. 36-37)
* maksudnya: Al-’Ilj adalah sebutan untuk seorang lelaki kafir dari kalangan ajam (non Arab) atau lainnya, sebagaimana disebutkan dalam An-Nihayah karya Ibnul Atsir (3/286)1


Maksudnya, ketika Al-Hasan Al-Bashri menyelisihi hawa nafsu orang-orang Khawarij ini dan mereka tidak mempunyai hujjah untuk membantahnya, fanatik kesukuan Arab mereka menyebabkan mereka mencela nasab beliau. Dan memang ayah dan ibu beliau rahimahullahu adalah hamba sahaya.
(Dinukil dari Fatawa Al-’Ulama Al-Akabir hal. 37; darisini)

Imam Al Barbahari berkata :
“Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawarij. Dan berarti dia telah memecah kesatuan kaum Muslimin dan menentang sunnah. Dan matinya seperti mati jahiliyah.”
(Syarhus Sunnah karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid Ar Raddadi halaman 78; darisini)


Asy Syahrastani berkata :
“Setiap orang yang memberontak kepada imam yang disepakati kaum Muslimin disebut Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa shahabat kepada imam yang rasyidin atau setelah mereka di masa para tabi’in dan para imam di setiap jaman.”
(Al Milal wan Nihal halaman 114, dinukil darisini].)




Ancaman bagi yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa yang sah


dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan tidak mau bergabung dengan Jama’ah kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.

وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Dan barangsiapa berjuang di bawah bendera kefanatikan, dia marah karena fanatik gologan atau karena ingin menolong berdasarkan fanatisme, kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.

وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ

Dan barangsiapa keluar dari ummatku, kemudian menyerang orang-orang yang baik maupun yang fajir tanpa memperdulikan orang mukmin, dan tidak pernah mengindahkan janji yang telah di buatnya, maka dia tidak termasuk dari golonganku 
dan akupun tidak termasuk dari golongannya.”
(HR. Muslim)

Rasulullah bersabda:

مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barang siapa yang mati sedang ia tidak memiliki imam maka matinya dalam keadaan jahiliyyah.”
(HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Muqbil)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ditanya tentang makna hadits “Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak ada ikatan baiat di lehernya maka dia mati sebagaimananya matinya orang jahiliyyah (yang tidak memiliki penguasa)”.

Jawaban beliau,
“Aku berharap bahwa berbaiat (secara langsung kepada penguasa, pent) bukanlah kewajiban orang. Sesungguhnya jika seorang itu telah masuk ke dalam ketaatan dan kepatuhan (kepada seorang penguasa, pent) dan dia berkeyakinan bahwa dia tidak boleh menentang dan memberontak kepada seorang penguas serta tidak boleh durhaka kepada aturan penguasa selama aturan tersebut tidaklah bernilai maksiat kepada Allah, maka itu sudah cukup baginya (sehingga tidak perlu berbaiat langsung, pent).
Orang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memiliki ikatan baiat (sebagaimana penjelasan di atas) kematiannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut dengan kematian jahiliyyah karena orang-orang jahiliyyah mereka memiliki sifat khas yaitu sombong untuk patut kepada seorang pemimpin. Mereka tidak mau terikat dengan ketaatan kepada seorang pemimpin.
Oleh karena itu, dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serupakan orang yang tidak mau masuk dalam jamaah kaum muslimin (di suatu negara dengan menyakini kewajiban taat kepada raja, presiden atau penguasa real di negara tersebut) sebagaimana orang-orang jahiliah dari sisi ini (bukan dari sisi kekafiran mereka sebagaimana akidah LDII, pent)
[Al Duror al Saniyyah fi al Ajwibah al Najdiyyah juz 9 hal 11, cetakan ketujuh tahun 1425 H; darisini]


Perintah Rasulullah kepada penguasa untuk MEMERANGI kaum pemberontak

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Barang siapa yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian telah bulat di bawah kepemimpinan seseorang, dan ia hendak memecah belah persatuan kalian dan merusak barisanmu, maka bunuhlah dia.”
(Riwayat Muslim)


Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda tentang khawarij:

‎سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ

“Akan muncul di akhir masa ini nanti sekelompok orang yang umurnya masih muda-muda dan lemah akalnya.

يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

Apa yang mereka ucapkan adalah perkataan manusia yang terbaik. Mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama seperti halnya anak panah yang melesat dari sasaran bidiknya.

فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Apabila kalian (penguasa) menjumpai mereka maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya dengan terbunuhnya mereka maka orang yang membunuhnya itu akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat kelak.”
(HR. Bukhari dan HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747, dari shahabat ‘Ali bin Abu Thalib).

Beliau juga bersabda:

لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ.

“Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum ‘Aad.”
(Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri)

Dalam lafadz yang lain beliau bersabda:

لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمُودَ.

“Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum Tsamud.”
(Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan,
“Hadits ini menegaskan wajibnya memerangi Khawarij dan pemberontak negara, dan hal itu merupakan perkara yang telah disepakati oleh segenap ulama.”
(al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/397] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam; darisini)



Perintah Rasulullah kepada penguasa untuk MEMERANGI imam sempalan


Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ؛ فَاقْتُلُوا اْلآخَرَ مِنْهُمَا

“Apabila dua khalifah dibai’at, bunuhlah khalifah terakhir (kedua)”
[HR. Muslim]



Cara yang benar dalam menyikapi penguasa yang zhalim/fasiq

Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.
Islam sebagai agama yang hanif telah memberikan kaifiyah (cara) menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ

“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka JANGANLAH ia MENAMPAKKANNYA secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat).

فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya”
[HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi, dinukil darisini].]

Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Seseorang berkata kepadanya :
“Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”.
Maka Usamah menjawab :
“Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu?
Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya”
[HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989, dinukil darisini].]

Abdullah Ibnu Abbas berkata,
“Pemimpin adalah ujian bagi kalian. Apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu harus bersyukur. Dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu harus bersabar.”

Imam Syafi’i berkata,
“Barangsiapa yang menasehati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasehati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasehatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya.”

Imam Nawawi berkata,
“Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukkan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”

Imam Fudhail bin Iyadh berkata,
“Orang mukmin menasehati dengan cara rahasia, dan orang jahat menasehati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasehati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani, sampai pada perkataannya:“…sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasehati. Oleh karena itu, jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya, walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara salafus shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.”(Maqasidul Islam hal. 395, dinukil darisini].)

Syaikh bin Baz berkata:“Menasehati para pemimpin dengan cara yang terang-terangan melalui melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara atau manhaj Salaf . Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara) manhaj Salaf dalam menasehati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan nasehat tersebut.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum.
Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits :
“Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”.
Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka.
Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq”
[As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1, dinukil darisini].].

Inilah petunjuk Nabawi tentang nasihat dan amar-ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa muslim. Hadits di atas sekaligus sebagai penafsir hadits lain yang berbunyi :

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang jahat”
[HR. Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 7/28, dan yang lainnya; shahih; dinukil darisini].].

Mengapa disebut jihad yang paling besar ?
Tidak lain karena ia telah berani (–GENTLE–) menyampaikan kebenaran langsung di hadapan penguasa dengan cara menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah jihad baginya.

Maka bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah.

Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin/penguasa di mata umat.
Mendengar dan taat kepada penguasa yang dhalim/jahat bukan berarti ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan.

Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin.

Hendaknya kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya. Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat.

Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid’ah, dan maksiat ; maka terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan mereka.

Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka ia akan selamat ; dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa.
Wallaahu a’lam.

Bagaimana jika penguasa tersebut melakukan kekafiran2 yang nyata?


Asy-Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan:
“Dan kaidah Syari’ah yang telah disepakati menyatakan: Bahwa tidak boleh menghilangkan kejelekan dengan kejelekan yang lebih besar daripadanya. Akan tetapi yang semestinya ialah menolak kejelekan dengan amalan yang kiranya bisa menghilangkannya atau mempersedikit kejelekan itu.
Adapun menghilangkan kejelekan dengan cara menimbulkan kejelekan yang besar daripadanya, maka yang demikian itu dilarang sebagaimana hal ini telah disepakati oleh kaum Muslimin.
Maka bila sekelompok kaum Muslimin ingin menyingkirkan penguasa yang telah melakukan kekafiran yang nyata, dan kelompok Muslimin tersebut berkemampuan melakukannya, kemudian mampu pula untuk mengangkat penguasa yang shalih dan yang baik tanpa menimbulkan kerusakan yang besar pada kaum Muslimin, atau tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kejahatan penguasa yang kafir itu, maka tidak mengapa mereka melakukan upaya menyingkirkan penguasa itu.
Tetapi bila upaya menyingkirkannya menimbulkan kerusakan yang besar dan hilangnya keamanan, serta menimbulkan kedhaliman pada banyak orang dan pembunuhan orang-orang yang tidak semestinya dibunuh dan berbagai kerusakan besar yang lainnya, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan.
Justru yang harus dilakukan adalah bersabar dan tetap mendengar dan taat terhadap penguasa itu dalam perkara yang baik, serta menasehati para pejabatnya dan mendoakan mereka kepada Allah Ta`ala dengan baik dan berupaya untuk mempersedikit kejelekan serta memperbanyak kebaikan. Inilah jalan yang benar yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin. Karena dengan cara demikian ini akan terjaga kemaslahatan kaum Muslimin, dan menyedikitkan kejelekan serta memperbanyak kebaikan. Di samping itu juga akan lebih menjaga keamanan dan keselamatan kaum Muslimin dari kejelekan yang banyak.
Kita selalu memohon kepada Allah taufiq dan hidayah bagi semua pihak.”
(Muraja’at fi Fiqhil Waki’ As-Siyasiy wal Fikriy ala Dlau’il Kitab was Sunnah , I’dad wa Hiwar Dr. Abdullah bin Muhammad Ar Rifa’ie, Darul Mi’raj Ad-Dauliyyah Lin Nasyr, Riyadl – Saudi Arabia, cet. th. 1414 H / 1994 M, hal. 25 – 26; darisini)


Catatan Kaki
1.   Sungguh KEJI ucapan khawarij ini, dan demikianlah WATAK mereka dari zaman dulu hingga sekarang, mereka mencela dengan celaan yang kasa, melaknat, bahkan mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi hawa nafsu mereka. Semoga Allah menjauhkan kita dari fitnah khawarij ↩

2.   Ini pun yang menghukumi adalah PARA ULAMAA’ yang telah kompoten dalam ilmu syari’at, bukan orang-orang jaahil ataupun ahlul bid’ah dari kalangan khawarij yang gampang mengkafirkan! Wallahul musta’aan ↩



–dari blog abul jauzaa’–
http://abuzuhriy.com/?p=2688

1 comment:

  1. Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteksnya. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Kalau anda melulu melihat teks maka anda akan seperti orang yang hidup dalam goa. Kalau anda hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks maka anda akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya tanpa sasaran arah yang jelas. Sebaik-baik urusan itu memahami teks sesuai konteksnya.
    http://bogotabb.blogspot.co.id/
    https://www.kiblat.net/2014/11/19/bilamana-berhukum-dengan-selain-hukum-allah-dianggap-kufur-akbar/

    ReplyDelete