Riya’ mempunyai warna-warni yang berbeda karena kelincahan setan dalam menggoda manusia. Apalagi terhadap orang yang diberikan kelebihan, baik dalam ilmu, ibadah, kemerduan suara, dan lain sebagainya. Riya’ masuk dalam berbagai macam sisi kehidupan, dalam lapangan ilmu misalnya setan berusaha menggoda manusia agar jatuh ke dalam riya’, di antara fenomena riya’ dalam lapangan ilmu:
- Terlalu berani berfatwa dan tergesa-gesa untuk mengajar
Sifat ini adalah akibat cinta ketenaran dan ingin disebut sebagai ‘alim ulama, sehingga ia amat berani berfatwa karena takut dikatakan ‘tidak tahu’. Padahal para ulama terdahulu, rasa takut mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mengalahkan rasa takutnya untuk dikatakan ‘tidak tahu’.
Abu Dawud berkata, “Tak terhitung jumlahnya aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang permasalahan yang masih diperselisihkan, beliau berkata, “Aku tidak tahu.” Imam Ahmad berkata, “Aku tidak pernah melihat fatwa yang lebih bagus dari fatwa Sufyan bin ‘Uyainah, ia amat ringan untuk berkata, “Tidak tahu.”
Ibnu Qayyim berkata, “Para ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in tidak suka tergesa-gesa dalam berfatwa, mereka berharap agar saudaranyalah yang menjawabnya, dan bila ia melihat sudah menjadi keharusan baginya, maka ia mengeluarkan semua kesungguhannya untuk mengetahui hukumnya dari Alquran dan sunah atau pendapatkhulafa ar-rasyidin, kemudian ia berfatwa.”[5]
Doktor Nashir Al-‘Aql berkata, “Di antara kesalahan yang harus diperingatkan dalam masalah fiqih adalah memisahkan dakwah dari ilmu. Ini lebih banyak ditemukan pada pemuda mereka berkata, “Berdakwah berbeda dengan menuntut ilmu.” Oleh karena itu, kita dapati para pemuda sangat memperhatikan amaliyah dakwah, bahkan memberikan semua kesungguhannya, akan tetapi ia sangat sedikit dalam menghasilkan ilmu syar’iat, padahal kebalikannya itulah yang benar. Hendaklah ia menuntut ilmu dan ber-tafaqquh dalam agama, memperoleh ilmu-ilmu syariat, kemudian baru ia berdakwah…” (Al-Fiqhu Fiddiin, Hal. 58)
- Sibuk dengan ilmu yang bersifat fardhu kifayah dan meninggalkan yang fardhu ‘ain
Ia sibuk memperdalam ilmu-ilmu qira’at dan makhrajnya, namun meninggalkan yang lebih utama darinya, yaitu mentadabburi makna-maknanya. Ia memperdalam permasalahan-permasalahan fiqih yang amat pelik namun meninggalkan ilmu tauhid dan ikhlas. Namun bukan berarti kita berburuk sangka kepada mereka, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk langkah-langkah setan dalam menggoda manusia.
- Suka berdebat dan bertengkar dalam agama
Sifat ini digemari oleh orang-orang yang terfitnah oleh popularitas, dan ingin mengalahkan saingannya dengan memperlihatkan kehebatannya. Ini adalah tanda yang tidak baik, Imam Al-Auza’i berkata, “Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan keburukan kepada suatu kaum, Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan kepada mereka pintu jidal (perdebatan), dan menutup untuknya pintu amal.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ في رَبَضِ الْجَنّةِ لِمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقاّ..
“Aku menjamin dengan rumah di pinggir surga, untuk orang yang meninggalkan mira’ (debat kusir), walaupun ia di pihak yang benar..” (HR Abu Dawud)[6]
Para ulama salaf terdahulu berdebat bila dalam keadaan terpaksa saja. Adanya orang-orang yang tergelincir dalam masalah ini adalah karena niat yang tidak baik, padahal para ulama salaf lebih memperhatikan amal dari berbicara. Adapun sekarang, banyak dari kita yang lebih banyak memperhatikan berbicara karena ingin dianggap unggul. Allahul musta’an.
- Marah bila dikritik dan bersikap dingin kepada orang yang menyelisihinya serta berbangga dengan banyaknya pengikut
Ini akibat tidak keikhlasannya dalam menuntut ilmu dan berdakwah, Imam Adz-Dzahabi berkata, “Tanda orang yang ikhlas, yang terkadang tak terasa masih menyukai ketenaran, adalah bila ia diingatkan tentang hal itu, hatinya tidak merasa panas, dan tidak membebaskan diri darinya, namun ia mengakuinya dan berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang mengingatkan aibku.” Ia tidak berbangga dengan dirinya, dan penyakit yang berat adalah bila ia tidak merasakan aibnya tersebut.”[7]
Betapa indahnya perkataan beliau ini, amat layak untuk ditulis dengan tinta emas dan menjadi renungan kita bersama.
Al-Fudlail bin ‘Iyadl berkata (Kepada dirinya), “Wahai, kasihannya engkau, engkau berbuat buruk tetapi engkau merasa berbuat baik, engkau tidak tahu tetapi merasa selevel dengan ulama, engkau kikir tetapi merasa dermawan, engkau pandir tetapi merasa pintar dan berakal, ajalmu pendek namun angan-anganmu panjang.”[8]
Saudaraku, terkadang banyaknya pengikut membuat kita tertipu dan menjadikan seorang da’I berbangga. Bila yang hadir di majlis taklimnya banyak, ia senang, namun bila yang hadir sedikit, ia bersedih dan ciut hatinya, tanda apakah ini ya akhi..?!
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Aku mempunyai majlis (ta’lim) di Masjid Jami’ setiap hari Jumat. Apabila yang hadir banyak, aku merasa senang. Dan apabila yang hadir sedikit, aku merasa sedih. Lalu aku tanyakan kepada Bisyir bin Manshur, ia menjawab, ‘Itu majlis yang buruk, jangan kamu kembali kepadanya.’” Aku pun tidak lagi kembali kepadanya.[9]
Subhanallah!! Betapa ikhlasnya mereka, betapa jauhnya dari cinta popularitas, sedangkan kita?!! entah, wallahu a’lam.
__________________________________________________________________________________________
[5] I’laamul muwaqqi’iin 1/33-34.
[6] Sunan Abu Dawud no 4800, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Abi Dawud no 4015.
[7] Siyar a’lamin Nubalaa 7/393.
[8] Siyar A’lamin Nubalaa 8/440.
[9] Hilyatul auliya 9/12.
www.salamdakwah.com/baca-artikel/warna-warni-riya.html
No comments:
Post a Comment