Oleh : Syaikh Musthofa al-Adawi
Janganlah Anda merasa tinggi, sombong, meremehkan, dan durhaka pada suami, nanti anak perempuan Anda akan meniru perbuatan Anda terhadap suaminya. Akhirnya kehidupan rumah tangga Anda bersama suami dan anak akan pecah dan tidak tenang.
Boleh jadi suamimu tahan dan bersabar atas kelakuanmu terhadapnya, tetapi suami anak perempuanmu? Bisa jadi dia tidak tahan dan tidak sabar menghadapi sikap anak perempuanmu. Akibatnya dia akan memukulnya dan akhirnya menceraikannya dan mengembalikannya ker rumah orang tuanya. Dan tentu saja kamu yang menanggung semua ini.
Kesombongan istri terhadap suami bukanlah perbuatan yang diridhoi.
Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku (bisa) memerintahkan seseorang untuk sujud di hadapan orang lain, tentu aku akan memerintahkan kepada seorang istri sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi 1159 dari Abu Hurairah rodhiyallohu anhu)
Dalam suatu riwayat ada tambahan :
لما عظم الله من حقه عليها
“Karena besarnya hak suami yang Alloh tetapkan atas istrinya.” (HR.Ibnu Hibban 1291 dan Baihaqi dalam Sunan Kubro : 7/291)
Ajarilah anak perempuanmu masalah iman, sholat, dan membaca Al-Qur’an. Ajari juga tentang masalah yang berkaitan dengan kewanitaan, seperti haidh, jima’, dan hukum-hukumnya. Beritahukan padanya apa yang harus dia kerjakan ketika haidh. Ajarkan firman Alloh :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Alloh kepadamu. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. AL Baqoroh : 222)
Ajarkanlah bahwa suami tidak boleh mencampurinya saat haidh. Dibolehkan mencium, memeluk, dan yang lainnya selama bukan pada kemaluan, dan tidak khawatir terjatuh dalam perkara yang diharamkan (bercampur-ed.-)
Beritahukan kepada anak perempuan kalian tentang tidak bolehnya seorang suami mendatangi dari dubur, hukumnya haram. Nabi shollallohu alaihi wa sallambersabda, “ Terlaknat dan berlepas diri dari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shollallohu alaihi wa sallam orang yang mendatangi istrinya dari duburnya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 2/408 dari Abu Huroiroh). Jika suaminya minta demikian jangan ditaati.
Demikian pula ajarilah mereka pekerjaan rumah tangga, ini adalah kebiasaan wanita dan hukumnya sunnah dalam batas kemampuan. Sarah, istri imam ahli tauhid Ibrohim, membantu menyuguhkan kepada tamu suaminya, sebagaimana dalam firman Alloh dalam surat Hud ayat 71:
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ
“Dan istrinya berdiri di balik tirai”
Maksud dari ayat di atas adalah melayani tamu-tamu suaminya.
Ajarkan kisah Fatimah yang mengadu ke ayahnya, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam karena banyaknya bekas kerja keras (menggiling tepung dengan tangannya) (kapalan-ed.)
Begitu pula kisah Asma’ binti Abu Bakar istri Az-Zubair rodhiyallohu anhu yang menuntun keda suaminya, dan memanggul serta menumbuk biji-bijian untuk makan kuda suaminya (Bukhori 5224 dan Muslim 2182)
Istri Abu Bakar membuat makanan untuk tamu-tamu suaminya (Bukhori 6140 dan Muslim 2057)
Ummu Sulaim membuat makanan untuk tamu-tamu suaminya (Bukhori 3578 dan Muslim 2040)
Demikianlah kondisi semua wanita muslimah di zaman Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Bahkan ada pengantin wanita yang melayani tamu-tamu suaminya. Sahl bin Sa’adrodhiyallohu anhu, dia bercerita bahwa Abu Usaid As Sa’idi mengundang Rosulullohshollallohu alaihi wa sallam dalam walimatul ursynya. Dalam acara tersebut, istrinya melayani tamu-tamu suaminya. Sahl berkata, “Apakah kalian tahu apa yang dituangkan istri Abu Usaid kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam? Istri Abu Usaid telah merendam kurma semalaman.” Setelah Nabi selesai makan, istri Abu Usaid menuangkan rendaman kurma itu untuk beliau. (HR.Bukhori 5176 dan Muslim 1590)
Maka dari itu biasakanlah anak perempuan mengerjakan pekerjaan rumah yang dirasa mampu, sesuai dengan umur dan kesempatan. Dari cara ini dia akan merasa diikut sertakan dalam pekerjaan rumah dan dianggap mampu dalam pekerjaan-pekerjaan rumah.
Anak perempuan yang telah terbiasa terdidik di rumah orang tuanyadengan pendidikan seperti itu, di kemudian hari dalam kehidupan rumah tangga bersama suaminya tidak kaget. Wanita semacam ini jelas lebih baik daripada wanita-wanita yang tidak dibiasakan rajin dan bersih. Wanita yang membiarkan rumah berantakan, lalat bertengger dimana-mana, perabot pecah dibiarkan begitu saja, sandal yang tak terpakai diletakkan begitu saja, sobekan-sobekan kertas betebaran di mana-mana, bau tak sedap tercium di setiap ruang. Pemandangan ini tentu tak menyenangkan. Maka suatu kewajiban bagi seorang ibu untuk mengajarkan kepada anak wanitanya kebersihan, kerapihan, dan menjaga keindahan rumah dan isinya. Nabi bersabda
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Alloh itu indah dan menyukai keindahan.” (HR.Muslim)
Berapa banyak problem rumah tangga bahkan perceraian berawal dari istri yang melalaikan kebersihan dan keteraturan rumah.
***
[Sumber : Tarbiyatul Abna', asy-Syaikh Musthofa al-Adawi, penerbit Media Hidayah]
No comments:
Post a Comment