Tuesday, 14 February 2012
SEPENGGAL DOA IBUNDA
“Masa silam saya kelam,” ucap anak muda itu mengenang masa lalunya. Penampilannya yang necis tak membersitkan sedikit pun sebagai mantan pecandu obat terlarang. Rambut lurus bagai kucai dipotong pendek. Sisirannya yang dibelah tengah menambah tampilan lebih apik. Semburat wajahnya menyimpan keteduhan.
“Dulu, ganja, putaw, atau sabu adalah teman setia saya,” lanjut pemuda itu. Awal dirinya berkenalan dengan barang-barang terlarang adalah dari teman bergaul. Beberapa teman sepermainan menyeretnya untuk coba-coba mengisapnya. Satu, dua kali hingga akhirnya menjadi candu. Dirinya menemukan suasana lain setelah mengonsumsi obat-obat tersebut, fly. Semakin hari, dari waktu ke waktu, intensitas pemakaian obat itu pun bertambah. Akhirnya, dia merasakan, apabila tidak mendapatkan obat terkutuk tersebut, dia merasa tersiksa.
“Bahkan, sampai saya harus menyilet lengan saya lalu saya isap darah yang keluar. Itu jika saya tak bisa mendapatkan barang setan tersebut,” tuturnya datar seraya memperlihatkan bagian kedua lengannya yang diiris-iris untuk diisap darahnya.
Beragam obat terlarang pernah masuk ke dalam tubuhnya. Mulai yang diisap hingga yang disuntikkan. Saat itu, dirinya benar-benar terjerat sekawanan setan. Tidak bisa lepas. Teramat sangat sulit untuk memisahkan diri dari mereka. Setiap saat seakan-akan dirinya dikuntit, terus disodori barang-barang terlarang.
Nasihat dari orang tuanya tidak pernah dihiraukannya. Begitu pula nasihat dari saudara-saudara atau sanak famili, didengarnya, tetapi tidak pernah digubris. Ia pun tetap bergelut dengan narkoba. Bisik rayu setan lebih ampuh baginya dibandingkan dengan nasihat. Perangkap Iblis benar-benar mencengkeramnya.
“Karena saya tidak pernah menghiraukan nasihat, ada saudara orang tua saya yang mengusulkan agar saya tidak lagi diakui sebagai anak,” akunya. “Namun, ibu saya tidak setuju,” paparnya sendu mengenang hal itu.
Akibat perbuatannya, nama baik keluarga tercoreng di hadapan masyarakat. Apalagi ibunya adalah seorang pegiat dakwah. Ibunya sering diminta mengisi berbagai pengajian. Tidak sedikit masyarakat yang mencemooh dan melecehkan orang tuanya, terutama ibunya. Bisa mengajari orang lain, tetapi anak kandungnya sendiri terjerat nafsu setan. Begitulah di antara kata-kata yang terlontar.
Sungguh, orang tuanya benar-benar sedang diuji. Tidak mengherankan apabila saudara-saudaranya mengusulkan agar dirinya dibuang, dikeluarkan dari anggota keluarga, dan tidak diakui lagi sebagai anak. Ini semua karena beratnya menanggung malu. Ya, malu karena nama baik keluarga tercoreng.
Di tengah cemooh, cercaan, dan hinaan sebagian orang, ibunya tetap sabar. “Setiap ada waktu, ibu selalu menasihati saya. Ibu selalu memberi kelembutan kepada saya,” kenangnya. Ia berusaha untuk tidak menitikkan air mata. Ia berupaya tegar saat mengenang ibunya yang penyabar. Anak muda itu menghela napas panjang. Suasana sunyi. Daun di pepohonan bergoyang tersentuh angin. Langit biru tersaput tipis awan putih.
Satu malam, ibunya terbangun. Seperti biasa, ibunya menunaikan shalat tahajud. Malam demi malam dilaluinya dengan munajat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Malam demi malam ditaburinya dengan rukuk, sujud, zikir, dan doa. “Saat ibu tengah bermunajat, saya terbangun. Saya tatap ibu yang terselubung mukena putih. Seakan-akan mata tak mau berkedip. Saya tatap terus ibu,” ucapnya sungguh-sungguh.
Ia melanjutkan, “Saat saya menatap ibu, saya seperti diingatkan. Malam itu, kesadaran menyelinap ke dalam hati. Malam itu, saya bertobat,” kisahnya mengenang detik-detik tobatnya.
Sejak peristiwa itu, kehidupan anak muda tersebut berubah drastis. Semangat hidupnya mencuat kembali. Kepedulian terhadap agama pun tumbuh. Ibadahnya mulai berlangsung teratur. Pemuda itu telah insaf, meniti kembali jalan yang benar. Kegelapan yang selama ini menyelimuti, sirna. Ia berada dalam cahaya terang benderang. Ia yakin, semua ini tak luput dari sepenggal doa ibunda, setelah kehendak Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
Kisah di atas nyata, diungkapkan langsung kepada penulis sekitar tahun 1980-an.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang dizalimi, doa orang yang sedang safar (dalam perjalanan), dan doa orang tua terhadap anaknya.” (HR. At-Tirmidzi no. 3448 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu dalam ash-Shahihah no. 598 dan 1797)
[kisah ini diambil dari tulisan panjang Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin berjudul: Sepenggal Doa Ibunda, dalam majalah Asy Syariah no. 76/VII/1432 H/2011, hal. 29-30]
http://hanifatunnisaa.blogsome.com/2012/02/01/sepenggal-doa-ibunda/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment