Sunday 19 February 2012

OXBRIDGE & MADINAH (MEMIKIRKAN ULANG CARA KITA MEMANDANG SEKOLAH)




Pendidikan adalah hal yang sangat penting di zaman sekarang ini, terutama bagi anak-anak kita. Sedemikian pentingnya, Pemerintah kita juga membuat program pendidikan gratis bagi anak usia sekolah. Di sisi lain banyak bermunculan sekolah-sekolah swasta dengan tawaran program yang menarik, seolah-olah mereka adalah mesin pencetak orang sukses, tentunya dengan biaya yang mahal. Para orang tuapun memilihkan sekolah bagi anak-anaknya sesuai impian mereka terhadap anak-anaknya kelak dan tentu sesuai dengan uang di kantong mereka. Baik sekolah yang gratis maupun yang berbiaya sangat mahal, tentu kebanyakan mereka, para orang tua punya harapan yang sama: kelak anaknya bisa jadi “orang”.
Benarkah demikian? Tulisan ini saya kutip dari Majalah Hidayatullah edisi Juli 2006, ditulis oleh Dzikrullah, seorang wartawan dan guru madrasah. Beliau mencoba mengkritisi pandangan kebanyakan kita, para orang tua terhadap sekolah/pendidikan anak-anak kita.



Oxford dan Cambridge adalah simbol penting pendidikan di Inggris. Kotanya cantik dengan sungai dan taman-taman yang luas diselingi colleges yang menjadi jantung utama kedua kota itu. Bangunan asrama , gedung universitas dan kapel-kapel (gereja kecil) dari abad ke-13 sebagian masih bisa dilihat sampai sekarang, diperkaya bangunan-bangunan berdesain ultra-modern. Biasa disebut jadi satu sebagai Oxbridge, kedua kota ini menjadi pusat riset ilmu dan teknologi penyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini.
Madinah merupakan kota pendidikan yang lebih dahsyat dari dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya. Tetapi karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman, ilmu, amal dan jihad. Di Oxbridge seorang profesor bisa sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap dihormati karena penguasaan pengetahuannya di satu bidang ilmu.
Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan aqidah, akhlaq, amal dengan ilmu yang dikuasainya, ke’alimannya batal. Seorang yang menjadi simpul sanad bagi sebuah hadits, jika diketahui berdusta, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab-kitab Rijalul Hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Dalam sejarahnya, Oxbridge mengalami beberapa ketegangan dengan gereja, isunya beragam, tetapi dasarnya sama: yaitu jika pengembangan ilmunya dianggap bertentangan dengan doktrin kristen. Ketegangan itubaru reda setelah gereja “tahu diri” dan membatasi perannya di altar dan mimbar khotbah saja, tidak merambah ke ilmu pengetahuan. Gereja terpaksa mensekulerkan dirinya agar tidak seratus persen dibuang dari masyarakat Barat.
Sebaliknya, Madinah, Damaskus, Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur’an dan As-sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika, ekonomi, sastra sampai teknologi perang dijabarkan terus oleh para ulama. Mereka hafal al-Qur’an, hafal ribuan hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti sahabat, pada saat yang sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan itu. Inilah yang disebut oleh para ulama, “Orang barat bisa maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan kaum Muslimin hanya akan maju jika mereka mendalami agamanya.” Semuanya berawal dari Madinah.
Sebuah kota dimana para ayah dengan tenang meninggalkan istri-istri dan anak-anaknya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk berdakwah, bedagang dan berjihad ke penjuru benua. Para ayah itu yakin, Madinah akan mendidik anak dan istrinya menjadi manusia-manusia unggulan. Coba kita bayangkan, di rumahnya anak-anak punya ibu yang hafidzah al-Qur’an dan hadits serta terjaga kehormatannya oleh syari’ah. Di masjid, anak-anak akan bertemu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat yang utama. Adakah guru yang lebih baik dari mereka? Di pasar, di ladang, mereka berjumpa dengan para sahabat, juga kaum munafik dan Yahudi sebagai bandingan nyata.
Pertanyaan kita sekarang, berjuta-juta uang yang kita habiskan untuk biaya sekolah anak-anak kita, apakah semua itu akan mengantarkan anak-anak kita ke suasana berkah Madinah atau lebih dekat ke suasana sekular Oxfor dan Cambridge?
Cara untuk mengukurnya sederhana. Ruh Madinah adalah tauhid. Maka output sekolah ala Madinah yang paling mudah dideteksi adalah ruh tauhidnya, yakin akan ke-mahakuasa-an Allah yang mutlak tidak terbatas, berdasarkan pengalaman langsung sehari-hari. Tidak ada rasa takut selain kepada Allah, tidak ada rasa cinta selain karena Allah, tidak ada rujukan utama selain Allah, tidak ada cita-cita selain menuju Allah. Jika sekolah-sekolah kita menghasilkan anak-anak yang cemas jika tak punya ijazah, cemas jika tak masuk perguruan tinggi, takut jika kelak mereka susah cari kerja, maka sekolah-sekolah kita gagal total.
Sekolah-sekolah kita harus menghasilkan remaja-remaja berotak-berhati-berjasad Al-Qur’an yang siap dikirim kemana saja untuk berdakwah dan menaklukan sebuah negara dengan kepakaran komprehensif demi li i’laahi kalimatillahi hiyal ‘ulya– menegakkan kalimat Allah yang tinggi. Itulah yang dihasilkan Madinah. Kalau sekolah-sekolah kita mendesain kurikulumnya untuk menghasilkan pekerja, dokter, pengacara, peneliti, karyawan, manajer, CEO, politisi dan berhenti sampai di situ, sekolah kita gagal, meskipun sekolah kita bernama Islami.
Thariq bin Ziyad itu budak. Namun ia dididik oleh sekolah Madinah menjadi panglima penakluk. Cobalah kita tanya seorang lulusan- maaf, perguruan tinggi paling terkemuka di negeri ini– IAIN alias UIN, “Bisakah Anda pergi ke Singapura sekarang, berdakwah, taklukan, dan jadilah gubernur yang menegakkan syari’ah di sana?” apa kira-kira jawaban mereka? Tebak sendiri.
Lalu, sekarang bagaimana? Meneruskan mimpi tentang Madinah? Tentu tidak>. Kita harus mengubah cara memandang pendidikan anak-anak, dan yang pertama kali harus diubah ialah cara hidup kita. Pergi cari duit dari subuh baru pulang malam, nanti akhir pekan sedikit-sedikit memberikan kehangatan kepada anak, dan menyerahkan segalanya kepada sekolah adalah cara terbaik untuk menghancurkan anak kita. Hentikan semua kesibukan yang tidak perlu, pusatkan di rumah. Silahkan buka bisnis sendiri, tapi tugas utama kita adalah menjadi kepala sekolah dan guru bagi anak-anak kita. Jangan merasa cukup dengan ngaji seminggu sekali, kembangkan terus kapasitas kita secararuhiyah, ‘aqliyah,jasadiyah pelan-pelan mendekati standar para sahabat. Berdoalah sungguh-sungguh, minta kepada Allah bagaimana jalan terbaik mendidik anak-anak kita dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan di pengadilan akhirat. Bikinlah program yang sama seriusnya dengan sekolah konvensional, tetapi laksanakanlah kepada anak-anak dengan cara yang lebih menyenangkan daripada tamasya ke manapun.
Bersilaturahmilah dengan sahabat kita yang satu pemikiran. Sekolah rumahan atau home schooling? Kenapa tidak? Praktisinya kini sudah semakin banyak. Pemerintah juga sudah memudahkan lewat program Kejar paket A-B-C, ijazahnya sama. Di internet bahan belajar sekolah rumahan ribuan jumlahnya dari Muslimin Inggris dan Amerika Utara. Jadikan mesjid di rumah kita sebagai markas mendidik masyarakat dewasa dan anak-anak seperti Madinah. Bicarakan hal ini dengan pengurusnya.
Pilihan lain apa? Ya kirim saja anak-anak kita ke sekolah konvensional, negeri maupun swasta, yang biasa maupun terpadu. Bayarlah berjuta-juta. Saya tidak mengatakan sekolah merupakan sesuatu yang buruk 100%. yang ingin saya sampaikan, sebuah sekolah akan menuju arah yang benar jika terus dikembangkan menjadi community based education sebagaimana Madinah. Jika sekolah kita tidak menyatu baik secara jasad maupun ruhiyah dengan masjid, dengan para ayah-ibu, dengan para tetangga, yang kemudian bersama-sama membangun kekuatan jama’ah Islamiyah, maka sekolah itu, mohon maaf – sudah salah alamat. Inilah alat ukur kita sebagai orang tua untuk memilih sekolah. Apakah sekolah itu semakin menyatu dengan masjid, ayah-ibu, lingkungan bertetangganya untuk membangun kekuatan ummatan wahidan? Apa yang tertulis di brosur sekolah dengan kenyataan di lapangan harus kita cek benar-benar. Jika tidak, mendingan bikin sekolah sendiri di rumah sekreatif mungkin.
Dalam jatah waktu hidup kita yang begini singkat, sebaiknya kita menyusun daftar apa saja hal terpenting yang hendak kita didikkan kepada anak-anak kita,juga, apa saja yang nampaknya penting tapi sebenarnya tidak menjamin keselamatan mereka dunia akhirat. Baru sesudah itu kita tentukan ke mana anak kita akan disekolahkan. Atau sekolah tidak diperlukan lagi?

No comments:

Post a Comment