Wednesday 15 February 2012

HUKUM ARISAN




Apa hukum arisan yang sudah menradisi di tengah tengah masyarakat? Arisan adalah sejumlah orang bersepakat untuk menyetorkan sejumlah uang setiap bulannya. Uang yang terkumpul diberikan kepada salah satu di antara mereka. Satu persatu dari mereka mendapatkan uang yang terkumpul hingga seluruh mereka mendapatkannya.


Arisan dengan pengertian adanya sejumlah orang bersepakat untuk mengumpulkan uang dengan nominal yang sama pada setiap bulannya. Uang yang dikumpulkan diberikan kepada salah satu anggota arisan dan demikian seterusnya, sehingga semua anggota arisan mendapatkannya. Hal ini termasuk utang piutang yang mengandung unsur menolong dan berbuat baik.


Arisan tergolong transaksi utang piutang karena orang yang mendapatkan uang arisan dia ingin memanfaatkan uang tersebut untuk berbagai keperluan lalu mengembalikannya sama persis dengan nominal yang dia terima.

Tidak tepat menggolongkan arisan ke dalam jual beli uang dengan uang karena apa manfaat yang didapatkan penjual uang manakala dia menjualnya secara tidak tunai dalam jangka waktu satu tahun dan dia mendapatkan pengembalian uang dengan nominal yang sama dengan yang dia berikan. Tidak ada orang yang melakukan hal tersebut. Sehingga yang tepat arisan termasuk dalam transaksi utang piutang yang landasannya adalah murni sosial.

Mengingat bahwa tujuan utang piutang adalah murni sosial, bukan mencari keuntungan maka syariat menyaratkan utang piutang yang syar'i harus murni membantu sehingga tidak ada satu pun keuntungan yang didapatkan oleh orang yang mengutangi. Oleh karena itu, para pakar fikih menetapkan kaidah 'semua utang piutang yang mendatangkan keuntungan adalah riba'.

Kaidah ini adalah kaidah yang disepakati ulama manakala keuntungan atau manfaat dari transaksi utang piutang hanya murni dirasakan oleh pihak yang mengutangi.

Namun jika manfaat dari transaksi utang piutang itu dirasakan oleh dua pihak, yang mengutangi dan yang berutang maka para pakar fikih berselisih pendapat tentang boleh tidaknya keuntungan semacam itu.

Pendapat yang benar menurut para ulama bermazhab maliki adalah melarang keuntungan semacam itu kecuali dalam kondisi darurat semisal transaksi suftajah.

Suftajah adalah misalnya seorang memiliki uang di Jakarta yang dipegang oleh seseorang. Ketika dia berada di Jogjakarta dia berutang kepada seseorang. Lantas dia menulis surat kepada pemegang hartanya agar menyerahkan sejumlah uang sebagai pelunasan utang kepada pemegang surat manakala pemegang surat tiba di Jakarta. Ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi terjadinya kejahatan di tengah perjalanan antara Jogja sampai Jakarta.

فقد كان ابن الزبير يأخذ من قوم بمكة دراهم ، ثم يكتب لهم بها إلى مصعب بن الزبير بالعراق ، فيأخذونها منه ، فسئل عن ذلك ابن عباس ، فلم ير به بأسا

Ibnu Zubair meminjam uang kepada sejumlah orang di Mekah. Beliau kemudian menulis surat yang ditujukan kepada Mush'ab bin Zubair yang berada di Irak. Orang-orang yang mengutangi Ibnu Zubair lantas mengambil pelunasan utang dari Mus'ab bin Zubair. Kejadian ini ditanyakan kepada Ibnu Abbas dan Ibnu Abbas menilainya tidaklah bermasalah. (Mushannaf Abdurrazzaq,  8:140 dan Adz Dzakhirah, 5:293)

Demikian pendapat Malikiyah. Yang benar adalah Suftajah hukumnya mubah karena keuntungan dari transaksi utang piutang adalah manakala hanya dinikmati oleh pihak yang mengutangi.

Berdasarkan hal tersebut, arisan yang memiliki sifat menguntungkan orang yang mengutangi dan yang berutang hukumnya jelas diperbolehkan.

Namun menurut pendapat Malikiyah yang melarang keuntungan dalam transaksi utang piutang meski yang diuntungkan dalam hal ini adalah kedua belah pihak kecuali dalam kondisi darurat, maka kita katakan bahwa arisan di zaman ini adalah kebutuhan yang sangat mendesak karena sedikitnya orang yang mau memberi pinjaman uang tanpa riba. Mayoritas orang sangat membutuhkan solusi keuangan mereka dengan cara berutang. Menghadapi kondisi ini ada dua pilihan, uang arisan atau berutang kepada bank ribawi.

Sehingga arisan hukumnya boleh sebagaimana bolehnya transaksi suftajah, transaksi di masa silam yang menguntungkan dua belah pihak. Orang yang mengutangi diuntungkan dengan aman di jalan karena tidak membawa uang dalam jumlah besar. Sedangkan orang yang berutang juga diuntungkan karena bisa mendapatkan harta di daerah yang dia tidak memiliki harta di sana.

Arisan tidak boleh dipermasalahkan dengan alasan anggota arisan tidak mengetahui apakah dia orang yang pertama kali mendapatkan uang arisan ataukah malah yang terakhir karena ketidakjelasan waktu jatuh tempo pelunasan utang hukumnya tidak mengapa. Boleh seorang itu mengutangkan uang kepada orang lain meski tanpa menyebutkan sama sekali kapan waktu jatuh tempo pelunasan utang. Karena utang piutang itu transaksi murni sosial. Lain halnya dengan transaksi jual beli tidak tunai. Ketidak jelasan waktu pelunasan cicilan menyebabkan transaksi jual beli tersebut terlarang.

Dalam kitab Hasyiah Al-Qalyubi 'ala al Minhaj yang merupakan buku fikih Syafii terdapat penjelasan hukum arisan dan penegasan bahwa hukumnya adalah boleh. Arisan yang disebut dalam buku tersebut disebut arisan wanita.

Penulis Hasyiah Al-Qalyubi mengatakan, "Arisan yang terkenal di tengah-tengah wanita dalam bentuk ada satu wanita anggota arisan yang mengambil uang dari setiap anggota arisan dengan nominal tertentu setiap pekan atau setiap bulan dan setiap anggota seluruhnya secara bergiliran mendapatkan kesempatan semacam ini hukumnya adalah boleh sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Wali Al-'Iraqi." (Hasyiah Al-Qalyubi, 3:321)

Referensi: tanasuh.com

Artikel www.PengusahaMuslim.com

No comments:

Post a Comment